Presiden Joko Widodo
PESAN menyejukkan disampaikan Presiden Joko Widodo pada perayaan Imlek tahun ini. Lewat akun Twitter-nya, Jumat (12/2), Presiden berharap semua pihak tetap berada dalam semangat persaudaraan.
Semangat persaudaran itu penting karena merupakan modal utama dalam membangun bangsa. Spirit itu pula yang mendasari para pendiri bangsa dalam membangun negeri ini puluhan tahun silam.
Makna persaudaraan semakin relevan pada saat bangsa ini dilanda pandemi covid-19. Kita hendaknya bersatu dalam semangat persaudaraan untuk membantu satu sama lain keluar dari darurat kesehatan ataupun dampaknya dalam segala bidang kehidupan.
Akan tetapi, belakangan ini semangat itu kerap dikoyak, baik dalam bidang politik maupun sosial kemasyarakatan. Di bidang pendidikan, misalnya, masih ada sekolah yang mewajibkan siswa/siswi berbusana mengikuti agama tertentu. Perlakuan diskriminatif juga kerap menimpa etnik tertentu.
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (11/2), Wakil Ketua Komisi Nasional Perempuan Mariana Amiruddin menyebut bahwa isu rasial kerap muncul saat momen politik. Ras yang paling sering menjadi korban rasialisme, kata Mariana Amiruddin, ialah Tionghoa dan Papua. Kebencian dan ketakutan kolektif dibangun untuk memecah belah masyarakat.
Di tingkat individu, mungkin tidak ada masalah ketika ada etnik Tionghoa dan Papua yang bersahabat baik dengan etnik lain. Akan tetapi, pada level kelompok atau golongan, rasialisme dan diskriminasi masih kental terasa.
Di bidang politik pun setali tiga uang. Politik identitas kerap dimainkan segelintir elite. Isu rasial mereka embuskan, utamanya tiap kali penyelenggaraan pemilu ataupun pilkada. Isu putra daerah kerap kali jadi jargon. Bukannya mengedepankan politik akal sehat dengan mengadu visi dan misi, justru sentiman suku, agama, ras, dan antargolongan yang kerap kali dimainkan.
Masyarakat diadu domba demi ambisi sebuah kursi kekuasaan. Politik semacam itu sejatinya adalah barang usang yang pernah dipakai kaum penjajah berabad-abad silam untuk menaklukkan bangsa ini, yang ironisnya kini digunakan lagi oleh sebagian elite. Entah karena mereka amnesia sejarah atau memang sengaja.
Untuk politisi semacam ini, kita tentu patut mempertanyakan rasa kebangsaan dan nasionalisme mereka. Betul ingin membangun bangsa atau cuma merongrong kebinekaan?
Kita berharap masyarakat cerdas menyikapi sikap elite semacam ini. Jangan beri ruang orang-orang ini berkuasa, di level mana pun. Kita juga berharap sikap ini tidak menular dan merusak tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan. Sikap gotong royong, tepo seliro, saling menghormati, serta toleransi harus tetap menjadi ciri khas bangsa ini.
Ikrar satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa yang digaungkan para pendiri bangsa kita dulu, jangan sekadar jadi slogan, karena itulah yang menjadi modal bangsa ini lepas dari belenggu penjajahan. Bangsa ini merdeka bukan semata karena jasa Bung Karno dan Bung Hatta, tetapi juga berkat peran serta seluruh masyarakat dari Sabang sampai Merauke, entah Bugis, Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Ambon, Papua, atau keturunan Arab maupun Tionghoa.
Kita semua bersaudara, dan persaudaraan inilah yang harus kita jaga untuk merawat dan membangun Indonesia. Imlek kali ini bukan sekadar perayaan tahun baru bagi masyarakat Tionghoa. Imlek merupakan simbol sekaligus momen kebersamaan. Bersama sebagai saudara sambil terus berikhtiar melenyapkan isu rasial dan diskriminasi. (e-mi/jdz)