Oleh : FRENI LUTRUNTUHLUY
BUKAN rahasia umum lagi bahwa kultur politik kita memang sejak dulu hingga sekarang selalu punya ‘laku’ yang sama, meski hadir dengan penampilan yang berbeda. Adapun, kultur yang dimaksud bukan dalam arti positif, melainkan dalam konotasinya yang negatif.
Tentu ini sesuatu yang bertolak belakang dengan dirinya atau lazim disebut dengan istilah contradictio in terminus. Sebab, yang namanya kultur adalah sesuatu yang positif. Ia merupakan produk dari cita rasa, karsa dan karya manusia yang punya nilai tinggi.
Namun, dalam konteks politik hal ini justru kerap berseberangan dengan apa yang menjadi harapan kita bersama. Sebut saja, salah satu kultur politik yang selama ini masih dianggap lazim di masyarakat, seperti bagi-bagi uang dari kandidat tertentu menjelang politik elektoral.
Bagi masyarakat, apa yang diberikan itu merupakan sesuatu yang lumrah sepanjang hal itu dianggap tidak saling merugikan satu sama lain. Bahkan, fenomena ini sekarang semakin marak, meski di saat bersamaan bertebaran slogan ‘no money politics’.
Jadi, pada kenyataannya kita menemui sebuah realitas sosial politik yang sangat kontradiktif antara apa yang diharapkan dan yang terjadi di lapangan. Di satu sisi, kita mengharapkan agar budaya politik kita terhindar atau sekurang-kurangnya bebas dari polusi politik uang. Namun, di saat yang lain kita terus mentolerir hadirnya praktik-praktik money politics itu sendiri.
Dalam situasi ini, tentu banyak di antara kita terbelenggu oleh pertanyaan yang saban hari terus mengusik sanubari maupun akal sehat: bagaimana bisa menciptakan politik yang bersih dan bebas dari korupsi, sementara kita masih terus membiarkannya eksis.
Dalam kaitan dengan itu, barangkali penting untuk sejenak kita melakukan sebuah retrospeksi atau perenungan kembali. Adakah yang salah dengan cara yang kita amini selama ini. Barangkali penting juga bagi kita untuk mengurut setiap pertanyaan itu satu demi satu untuk mempersoalkan ulang praktik dan kultur politik kita; yang dari waktu ke waktu semakin jauh dari apa yang diidealisasikan.
Penulis sengaja mengistilahkan kultur politik dekadensi ini dengan istilah ‘A3’ atau ‘AAA’ alias “Asal Ada Apanya”. Sekilas, ini memang tampak tidak begitu berbahaya, tapi mari kita lihat dampaknya.
Budaya politik A3 ini memang cukup masif dan mengakar kuat dalam tradisi politik kita, khususnya di wilayah timur, apakah itu di Maluku, Maluku Utara hingga Papua.
Bahwa ada kecenderungan masyarakat untuk terlena atau sebaliknya permisif terhadap menggejalanya fenomena politik transaksional ini. Mental ini saling silang kelindang, baik itu di tataran elit politik maupun pada level grass root.
Di level elite, para politisi hingga seluruh tim pendukung masih terus-terusan membudayakan kebiasaan buruk ini melalui sejumlah praktik culas dan kotor mulai dari memberikan uang secara terang-terangan hingga membungkusnya dengan bentuk hadiah atau bantuan sukarela.
Padahal, semua itu bukan dilakukan dalam konteks benar-benar ingin membantu mengangkat harkat dan martabat masyarakat. Sebaliknya, semua itu dilakukan demi melancarkan agenda kepentingan politik ataupun bentuk-bentuk kontrak politik lainnya.
Sementara, di level akar rumput, budaya ini semakin hari dianggap sebagai sesuatu yang wajar, bahkan sesuatu yang perlu ada. Bahkan, jika tidak terjadi (transaksi, bagi-bagi duit, bantuan politik), dianggap aneh dan patut dipertanyakan.
Alhasil, apa yang terjadi kemudian ialah masyarakat justru yang mengharapkan agar budaya itu perlu ada sebagai pelengkap elektoralisme.
Sebagian yang optimis akan hal ini menganggap masyarakat dari waktu ke waktu semakin terdidik secara politik, sehingga budaya semacam itu tidak akan mengubah persepsi mereka soal politik yang baik (political virtue).
Masyarakat singkatnya, dinilai lebih tahu mana yang baik dan mana yang tidak. Sehingga, politik uang sama sekali tidak akan menggoyahkan iman mereka untuk menentukan sikap politiknya yang benar dan tepat.
Masalahnya justru bukan di sana. Ketika ini semua dianggap lazim — dan tak satupun yang lantang memprotes hal ini –, maka mimpi agar korupsi di negeri ini hilang dari bumi pertiwi adalah sebuah impian yang hanya akan terhenti pada angan-angan belaka.
Sebab, akar dari semua korupsi, baik di daerah maupun pusat adalah sikap permisifisme kita terhadap budaya A3 ini. Sepanjang kultur politik ini masih terus mengurat akar dalam laku perpolitikan kita, jangan pernah berharap lahir pemimpin dengan karakter kebajikan (virtue) dan punya integritas yang tinggi. Karena pemimpin yang baik, lahir dari proses yang baik dan benar. (***)
*) Penulis adalah Wartawan, berdomisili di Jayapura, Papua.