JAKARTA – Instrumen kebijakan adalah hal penting untuk perubahan. Namun, instrumen juga tidak berarti tanpa dukungan seluruh lembaga negara, termasuk mereka-mereka yang menjadi penegak hukum di masyarakat. Dukungan semacam itulah yang juga dibutuhkan untuk melempengkan jalan Perppu Nomor 1/2006 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Perppu yang merupakan langkah besar dalam perang melawan predator anak itu ditandatangani Presiden Joko Widodo, Rabu (25/5).
Kita pantas mengapreasiasi ketegasan Presiden karena kejahatan terhadap anak ialah kejahatan bagi masa depan bangsa. Namun, kita juga paham benar bahwa masih panjang jalan untuk memberi efek jera bagi para pelaku kejahatan terhadap anak. Pertama, sesuai peraturan, perppu harus diajukan ke DPR untuk kemudian ditetapkan menjadi undang-undang (UU). Sejauh ini Ketua DPR Ade Komarudin memang menyatakan dukungan atas sikap pemerintah. Namun, tentunya dukungan yang dibutuhkan ialah kesamaan sikap dari fraksi-fraksi DPR untuk menerima perppu tersebut menjadi UU.
Setelahnya, perubahan paling berarti sesungguhnya ada di tangan para hakim. Merekalah yang dapat mewujudkan arti hukum yang memberi jera sekaligus secara tidak langsung mencegah berlipatnya kejahatan pada anak. Di atas kertas, Perppu Nomor 1/2006 itu cukup terlihat memberi instrumen penjeraan. Sebagai misal, UU No 35/2014 menyebutkan pelaku kekerasan atau persetubuhan pada anak dipidana penjara paling lama 15 tahun, sedangkan Pasal 81 Perppu No 1/2006 menyatakan pelaku dapat dipidana mati, seumur hidup, atau pidana paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun.
Selain itu, identitas pelaku dapat diumumkan. Pelaku kejahatan juga dapat dikenai kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik. Pada pasal 82 perppu itu juga terdapat perubahan hukuman yang signifikan terhadap pelaku kekerasan atau melakukan tipu muslihat atau membujuk anak melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Selain pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, terdapat pidana tambahan terkait dengan pengumuman identitas dan alat deteksi elektronik.
Memang beberapa langkah pidana itu juga mendapat kritik dari berbagai pihak, terutama terkait dengan efektivitas hasil. Kritik ini tentunya bukan menjadi halangan perlindungan anak, melainkan dapat menjadi cambuk untuk penyempurnaan. Berbagai penelitian di luar negeri akan potensi peningkatan residivitas setelah penghentian tindakan hormonal melalui kebiri harus dijadikan pelajaran untuk penerapan pidana yang tepat nantinya.
Di sisi lain, dengan instrumen hukum yang lengkap ini, semestinya tidak ada lagi hakim yang memilih berpegang pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selama ini, meski KUHP tidak lagi relevan mengadili perkara kejahatan anak, ironisnya banyak hakim seperti malas menggunakan UU Perlindungan Anak yang sudah ada. Jika sikap tersebut masih terus terjadi, berbagai instrumen hukum pun tidak ubahnya senjata yang tidak berguna. Pada akhirnya sikap itu bukan hanya menyingkirkan rasa keadilan, melainkan juga menempatkan anak-anak bangsa dalam ancaman. (miol/jdz)
Foto : Presiden Joko Widodo