HARI ini, Tentara Nasional Indonesia (TNI) memperingati ulang tahun yang ke-71. TNI hadir selang satu bulan Republik ini berdiri dan sejak itu terus aktif menegakkan kedaulatan negeri. Prestasi yang telah diukir ujung tombak pertahanan negara tersebut tidak terhitung.
Di tingkat global, kekuatan militer Indonesia cukup disegani. Global Firepower pada 2016 menempatkan Indonesia di peringkat ke-14 dunia, mengungguli Australia dan Kanada. Belum lama ini prajurit Kostrad TNI juga berhasil meraih predikat juara umum sebanyak sembilan kali berturut-turut dalam ajang lomba menembak tingkat dunia di Australia.
Pada tataran dalam negeri, baru-baru ini TNI ikut menyukseskan pembasmian kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur. Anggota TNI yang tergabung dalam Satgas Tinombala bersama Polri menembak mati Santoso, sang gembong teroris. Dengan segudang prestasi itu, bukan berarti TNI tanpa cela. Pertengahan tahun ini, mencuat skandal senjata Pasukan Pengamanan Presiden. Delapan anggota Paspampres membeli senjata dari Amerika Serikat (AS) tanpa melalui prosedur legal.
Itu diketahui setelah Pengadilan Federal New Hampshire, AS, menyidangkan terdakwa tentara Amerika Serikat, Sersan Audi N Sumilat, terkait dengan penjualan senjata ilegal kepada anggota Paspampres Indonesia. Walau pembelian senjata itu terbukti menyalahi prosedur, TNI menyebutnya sebagai kesalahan perorangan.
TNI juga dituding melanggar undang-undang dengan serampangan mengimplementasikan operasi militer nonperang. Aparat TNI kerap diminta pemda untuk terlibat dalam penggusuran warga dan penanggulangan beragam isu sosial. TNI juga digandeng Kementerian Pertanian untuk mencetak 200 ribu hektare lahan sawah baru. Dalam program tersebut, Kementan menggelontorkan dana sekitar Rp3,5 triliun kepada TNI.
Tidak ada yang salah dengan tugas-tugas itu. Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyebutkan salah satu bentuk operasi militer nonperang ialah membantu tugas pemerintah di daerah. TNI juga dapat membantu Polri dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Kendati begitu, berdasarkan undang-undang yang sama, kewenangan pengerahan dan penggunaan kekuatan militer seperti itu berada di tangan presiden. Kemudian, implementasinya pun harus melalui persetujuan DPR. Lebih jauh, keterlibatan TNI dengan menempatkan diri di depan pemda ataupun perusahaan atas nama hukum, untuk menghadapi warga, dianggap bentuk ketidakprofesionalan. Sebuah kritik yang perlu ditindaklanjuti dengan introspeksi di pihak TNI.
Kita semua sepakat negara ini membutuhkan TNI yang kuat dan profesional. Undang-undang dengan tegas melarang anggota TNI berbisnis. Larangan tentu saja termasuk memetik laba dari pengadaan persenjataan, baik yang diperoleh dari dalam maupun luar negeri.
Sebagai konsekuensinya, pemerintah harus mampu menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan TNI dalam menjalankan tugas dengan baik. Sebaliknya, tidak ada salahnya TNI terus memperbaiki diri. Dengan begitu, kegarangan militer bukan ditampilkan untuk menekan rakyat kecil, melainkan sebagai kekuatan yang berdiri di atas kepentingan negara. (mi/jdz)
Ket Foto : Prajurit TNI sedang mengikuti upacara peringatan HUT TNI ke-71, 5 Oktober 2016.