Mengenang Mendiang Ben Mboi; Pemimpin Yang Peduli Rakyat

oleh -19 Dilihat

Pengantar Redaksi

Ketika masih menjadi salah satu mentor di jajaran Redaksi Harian Umum Victory News, saya ditugaskan mewawancarai Tokoh dan Sesepuh NTT, Brigjen dr Ben Mboi, MPH, untuk mengisi rubrik Inspirasi pada penerbitan edisi perdana harian itu. Saat itu, saya ditemani wartawan pemula, Yance Jengamal. Hari itu, Jumat, 6 Januari 2012, saya mewawancarai Ben Mboi dikediamannya di Oetona, Kota Kupang. Tidak mudah meyakinkan tokoh cerdas ini untuk wawancara. Ia selalu berkata, hanya bincang-bincang, tidak untuk dipublikasi. Tapi Ben Mboi bicara blak-blakan soal NTT dan berbagai persoalan, termasuk kepemimpinan NTT hari ini. Ia meladeni setiap pertanyaan kritis yang diajukan di setiap pernyataannya.

Di akhir percakapan, saya dengan hormat meminta agar hasil wawancara hampir tiga jam itu dikutip sebagian untuk dipublikasi sebagai inspirasi bagi masyarakat NTT. Tidak ada jawaban tegas. Akhirnya hasil wawancara itu diturunkan pada edisi perdana Victory News, 2 Februari 2012, di rubrik Inspirasi. Sebagai penghormatan terhadap Mendiang Bapak Ben Mboi, yang meninggal dunia Selasa dini hari di Jakarta, saya menurunkan tulisan ini. Selamat Jalan Bapak Ben Mboi.

NAMA besarnya dikenal luas karena kecerdasannya dan kemampuan kepemimpinan yang merakyat. Ketika masih muda energik, ia sudah dipercaya menjadi Gubernur NTT. Sepuluh tahun memimpin NTT, banyak kisah sukses yang ditoreh. Aneka kenangan membekas di hati rakyat karena ia adalah contoh pemimpin yang peduli rakyat. Bagaimana pesan dokter tentara ini kepada pemimpin NTT saat ini?

Ben Mboi sudah rentah, tapi ingatannya masih tetap cemerlang, cerdas dan tak pernah lupa dengan apa yang pernah dialami. Bicaranya lugas, apa adanya. Ben Mboi berkisah banyak hal, mulai dari pengalamannya sebagai tentara yang ikut dalam pertempuran membebaskan Irian Barat, dan masa-masa jayanya sebagai pemimpin. Satu yang pasti, ia selalu menempatkan rakyat diatas segalanya. Itu yang dibuktikan ketika memimpin NTT sejak 1978 hingga 1988. “Saya menjalani tanggungjawab sebagai Gubernur NTT dengan jujur dan tulus. Karena saya sadar tugas yang diemban tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, tapi juga kepada Sang Empunya kehidupan (Tuhan),” kata suami Ny Nafsiah Mboi ini.

Sebagai anak NTT, Ben Mboi bangga karena ikut mengambil bagian dalam membangun bangsa. Ia bangga pada talenta yang dimiliki dan mengabdikan talenta itu tidak saja untuk diri dan keluarga, tapi juga untuk kepentingan masyarakat secara umum. “Inilah spirit kepemimpinan saya,” ujarnya.

Di seluruh pelosok NTT, Ben Mboi masih dikenang sebagai pemimpin yang selalu ada pada saat yang sama ketika ada masalah. Biar hujan badai, atau gelombang dan apapun halangannya, jika rakyatnya sedang dirundung petaka, Ben Mboi selalu ada. “Kalau ada masalah di daerah mana saja di NTT, satu hari setelah kejadian itu, saya sudah ada di lokasi.Saya ingin mengalami apa yang dirasakan rakyat agar rakyat merasa diperhatikan dan mencari solusi atas masalah itu,” begitu yang dilakukan Ben Mboi selama sepuluh tahun memimpin NTT.

Dengan alokasi anggaran yang amat minim saat itu, Ben Mboi berhasil menorehkan keberhasilan dalam pembangunan. Banyak bukti pembangunan fisik yang adalah buah karyanya, hingga saat ini masih tetap ada, dan terus diceritakan. Ia menyebutkan jalan lintas Flores yang dirintis mulai dari ujung barat Labuan Bajo hingga di ujung timur Flores Timur dan Lembata. “Ada 15 dermaga dan pelabuhan yang dibangun, diantaranya pelabuhan Atapupu, Larantuka, Lewoleba, Kalabahi, Maumere, Ende, dan Mborong di Manggarai Timur,” sebut dokter tentara ini.

Di Kota Kupang, ada pelebaran jalan El Tari dan stadion Oepoi.“Masih banyak bukti pembangunan fisik maupun non fisik yang saya lakukan dengan dana yang sangat terbatas,” ujar gubernur yang pernah menolak kunjungan Presiden Soeharto ke Sumba saat itu ketika wilayah itu diserang hama belalang.

Menurutnya, mengemban tanggungjawab sebagai pemimpin NTT dengan latar belakang dokter tentara, dengan pengetahuan ilmu pemerintahan yang minim, tidaklah mudah. Sebab, dokter tentara hanya berpikir perang, berkelahi, luka lalu dokter menyembuhkan luka tersebut. “Tapi kiat saya adalah menjadikan pengalaman masa lalu yang miskin, sengsara dan hidup dalam keterbatasan sebagai guru sekaligus ilmu dalam menentukan keputusan yang terbaik bagi daerahi ni,” tuturnya.

Pemikirannya membangun NTT saat itu sangat sederhana; yakni masyarakat NTT harus bisa makan tiga kali sehari. Artinya, setiap pagi bisa mendapatkan air untuk dikonsumsi, anak usia sekolah dapat menyelesaikan pendidikan dasar. “Itulah target yang ingin saya capai,” katanya. Tapi, ia sadari bahwa kesuksesan itu bisa tercapai karena ada kerjasama dan saling percaya dengan 12 bupati, 240 camat, dan 1.700 kepala desa di seluruh NTT (saat itu). “Jadi kesuksesan itu bukan semata-mata karena kemampuan saya,” katanya.

Dari pengalaman itu, Ben Mboi berani mengkritisi kepemimpinan saat ini. Ia mengatakan, pemimpin masa kini barat kacang lupa kulit; cenderung melupakan masa lalu karena setelah berkuasa dan sudah bergelimang harta dan serba berkecukupan, lupa segalanya. “Seharusnya pemimpin menjadikan masa lalu sebagai ilmu untuk menentukan apa yang terbaik untuk NTT hari ini. Komunikasi antara pemimpin dengan masyarakat terputus sebab pemimpin jarang turun ke tengah masyarakat. Mereka lebih cenderung ke Jakarta ketemu presiden dan urusan lainnya,” kritik Ben Mboi.

Menurutnya, saat ini pemimpin tidak serius memikirkan nasib masyarakatnya, kurang konsen membangun daerah. Waktunya banyak tersita untuk memikirkan strategi ampuh dan senjata pamungkas untuk digunakan dalam pilkada berikutnya. “Berbeda dengan saya saat menjabat gubernur NTT. Saya benar-benar serius memikirkan nasib rakyat karena saya tahu, lima tahun berikutnya akan diganti oleh orang lain,” tandas Ben Mboi sembari mengepal tangannya.

“Inilah tipe pemimpin yang lahir dari demokrasi NTT yang tidak sehat, yang mengandalkan uang. Uang menjadi kekuatan suprastruktur dan basis yang memengaruhi tatanan kehidupan sosial lain. Uang mengendalikan demokrasi. Dalam konteks pilkada, uang digunakan untuk membeli suara sehingga masyarakat tidak pernah mengenal secara baik pemimpin yang tepat dan pantas untuk memimpinnya. Demokrasi sesungguhnya membiarkan masyarakat untuk bebas berpendapat dan bebas menentukan orang yang pantas untuk memimpinnya dan menjadi wakilnya di legislatif. Demokrasi saat ini dikendalikan oleh kekuatan uang,” tegasnya dalam nada suara tinggi, sembari mempermainkan tongkat yang selalu setia menemaninya.

Dari pengalaman studi bandingnya ke Eropa, Ben Mboi berkisah, menjadi anggota dewan idealnya dimulai dari DPRD kabupaten, provinsi, hingga DPR RI. Menata karir politik tidak boleh prematur sehingga bisa memahami dengan baik tugas dan tanggungjawab yang diemban. Jadi, “Anggota DPR harus melakukan magang pada pemerintah setempat sesuai jenjangnya masing-masing untuk memahami kondisi sosial masyarakat,” katanya.

Di usianya yang 77 tahun, memori gubernur terbaik Indonesia ini tak pernah pudar. Ia menyadari keberadaan dirinya yang punya kecukupan wawasan karena lingkungan yang turut membentuk. Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di Manggarai, Sekolah Menengah Pertama di Kupang, dan Sekolah Menengah Atas di Jawa, serta pendidikan kedokteran di Universitas Indonesia, turut membentuk dirinya menjadi pribadi yang cerdas, mandiri, berprinsip, disiplin, dan berwawasan luas. Karena itu, ia diterima di kalangan manapun. Berbeda dengan pemimpin NTT lain, yang lahir, dibesarkan dan belajar di NTT, tidak mempunyai perbandingan sebab mereka melihat NTT sebagai Indonesia. “Pemimpin NTT mestinya tidak eksklusif, dengan bermodalkan pengetahuan lintas sektor serta wawasan yang cukup niscaya dapat menghantar daerah ini kearah yang lebih baik,” pesan Ben Mboi.

Di akhir perbincangan yang akrab, dengan suara serak-serak basah, ia menitip pesan untuk pemimpin NTT hari ini dan hari-hari yang akan datang. Menurutnya, ada filosofi Manggarai yang patut dijadikan pedoman bagi pemimpin daerah ini. Filosofi itu adalah tinu, teing, toing, titong, dan toe tegi.

Ia menjelaskan, Tinu atau merawat artinya seorang pemimpin harus merawat masyarakat yang dipimpin sehingga terhindar dari kemiskinan, penyakit, dan kelaparan. Teing atau memberi artinya, pemimpin harus mampu menjawab semua kebutuhan masyarakat.Toing atau mengajarkan artinya, pemimpin harus mampu mengajarkan masyarakat tentang cara-cara untuk mencapai kehidupan yang baik dan layak.Titong atau mengarahkan artinya pemimpin harus mengarahkan masyarakat yang dipimpinnya untuk menjadi lebih baik. Sedangkan toe tegi atau tidak minta artinya pantang bagi seorang pemimpin untuk meminta sesuatu kepada masyarak atau kepada orang-orang tertentu untuk keperluan pribadi.

“Itulah filosifi yang selalu saya pedomani,” imbuh Ben Mboei. (josh diaz)

Foto : Mendiang Ben Mboi (beritasatu.com)