Mengubur Ego Mengakhiri Kekisruhan

oleh -11 Dilihat

ELITE-ELITE partai politik di negeri ini semakin memainkan peran antagonistis. Mereka yang semestinya memberikan pendidikan politik kepada publik justru bertingkah sebaliknya. Mereka yang seharusnya memelopori persatuan malah mengkreasi perpecahan. Itulah yang satu setengah tahun ini dipertontonkan para petinggi Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan.

Mereka bercerai-berai, saling mengklaim sebagai pengurus yang sah, sekaligus saling menegasikan kelompok lain. Partai Golkar terbelah menjadi kubu Munas Bali di bawah Ketua Umum Aburizal Bakrie dan kubu Munas Ancol di bawah Ketua Umum Agung Laksono. PPP pun terpecah dalam kepengurusan Muktamar Surabaya di bawah Romahurmuziy dan Muktamar Jakarta di bawah kendali Djan Faridz.

Begitu besar semangat mereka untuk berseteru dan menutup jalan damai. Keputusan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mencabut SK kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Ancol memang mengakhiri dualisme kepengurusan, tetapi tak berarti memungkasi persoalan. Karena tak dibarengi dengan pengesahan kepengurusan Golkar hasil Munas Bali, putusan Menteri Yasonna itu serta-merta memunculkan kevakuman.

Apalagi, kepengurusan hasil Munas Riau yang jadi sandaran jika kepengurusan Munas Bali dan Munas Ancol tak disahkan sudah berakhir pada 31 Desember lalu. Bahkan, kini Golkar kian berkeping-keping setelah Setya Novanto, yang merasa memegang mandat dari partai menjadi Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, merombak pimpinan fraksi.

Itu tidak berbeda jauh dengan nasib PPP setelah Menteri Yasonna mencabut SK kepengurusan hasil Muktamar Surabaya tanpa mengesahkan kepengurusan Muktamar Jakarta. Dengan begitu, pengendali PPP dikembalikan kepada kepengurusan hasil Muktamar Bandung. Kita amat prihatin parpol yang mestinya mampu menghasilkan para pemimpin negara malah kedodoran memimpin diri sendiri.

Apa yang menimpa Golkar dan PPP bukti nyata kegagalan elite kedua partai menjadi negarawan. Amat jelas bahwa egoisme telah menyandera sehingga mereka seperti hanya berpikir bagaimana menyelamatkan kepentingan diri dan kelompok. Akibat terbelenggu ego, salah satu kubu di Golkar menolak mentah-mentah digelarnya munas.

Padahal, munas rekonsiliasi merupakan satu-satunya cara untuk menghindarkan Golkar dari senjakala. Munas rekonsiliasi itu pula yang disarankan para sesepuh Golkar seperti Jusuf Kalla, BJ Habibie, dan Akbar Tandjung. Sama halnya dengan di PPP, usulan digelarnya muktamar islah juga belum mendapat sambutan nyata dari kubu Djan Faridz. Padahal, sama seperti di Golkar, cara seperti itu merupakan formula paling ideal menyatukan kembali yang terbelah.

Harus kita katakan bahwa persoalan yang membelit Golkar dan PPP bukan semata urusan para elite kedua partai itu. Segala persoalan yang mendera partai di negeri ini sejatinya juga persoalan bangsa, atau setidaknya persoalan para konstituen mereka. Kevakuman yang kini melanda Golkar, misalnya, akan berimplikasi pada legalitas perombakan pimpinan fraksi partai beringin di DPR.

Keputusan Novanto mencopot Bambang Soesatyo dari kursi sekretaris fraksi dan menunjuk Aziz Syamsuddin sebagai pengganti bisa menjadi masalah. Begitu pula dengan penunjukan Kahar Muzakir sebagai Ketua Banggar DPR menggantikan Ahmad Noor Supit.  Hanya para elite Golkar dan PPP sendiri yang dapat menyelesaikan kekisruhan di partai mereka agar dampaknya tak merambah ke mana-mana. Syarat penyelesaiannya pun cuma satu, yakni kemauan mengubur ego dan tidak memperlakukan partai seperti milik pribadi. (mi/jk)

Foto : Euforia Partai Golkar versi Munas Bali pimpinan ARB.