Ilustrasi
SYAWAL sesungguhnya bermakna peningkatan. Segendang dengan makna Idul Fitri, yang selalu dirayakan di hari pertama Syawal seperti hari ini, yang juga bermuara pada upaya peningkatan diri. Dalam perayaaan Idul Fitri, medium terpenting untuk meningkatkan kapasitas sekaligus keimanan diri itu ialah silaturahim. Tanpa silaturahim, Idul Fitri atau Lebaran barangkali hanya akan menjadi perayaan biasa.
Dalam kapasitas kita sebagai makhluk sosial, Lebaran ialah momen terindah untuk mensyukuri semua kenikmatan yang kita dapat seraya bersilaturahim. Namun, tahun ini ialah tahun kedua umat muslim merayakan Idul Fitri dalam situasi pandemi covid-19.
Seperti tahun lalu, kita pun mesti berbesar hati untuk membatasi silaturahim kita hanya secara virtual. Bermaafan tak perlu bersalaman, bercengkerama tak perlu sampai menciptakan kerumunan. Itulah ikhtiar kita untuk tetap membangun dan memperkuat persaudaraan, di satu sisi, sekaligus berupaya meredam penyebaran wabah covid-19, di sisi yang lain.
Kemenangan Idul Fitri yang kita raih setelah lulus ujian selama sebulan Ramadan mestilah mengandung dua makna krusial itu: silaturahim dan bangunan harapan bahwa pandemi segera berakhir. Rabu (12/5) pagi, pengurus Masjid Istiqlal Jakarta sejatinya juga telah mengajarkan satu hal penting kepada kita saat mereka membatalkan penyelenggaran salat Idul Fitri dengan pertimbangan pandemi covid-19 belum juga membaik.
Apa pelajarannya? Bahwa memaksakan satu hal yang risikonya amat besar, sekalipun itu ibadah, boleh jadi mudaratnya jauh lebih besar ketimbang maslahatnya. Pun sebaliknya, menghindari atau menunda satu hal yang berisiko tinggi, sekalipun itu ibadah, maslahatnya mungkin lebih besar daripada mudaratnya.
Cara pandang seperti itu penting, apalagi Hari Raya Idul Fitri kali ini berlangsung tatkala kurva penambahan kasus covid-19 masih belum juga melandai, bahkan belakangan melonjak. Sementara itu, perayaan Idul Fitri lazimnya identik dengan berkumpulnya massa dalam suatu kawasan untuk beribadah, bertemu muka, bertegur sapa, dan bersilaturahim. Kiranya kita tidak ingin hari besar tersebut justru menjadi momentum penularan.
Sebaliknya, Idul Fitri seharusnya dijadikan momentum untuk menggugah kesadaran diri. Bahwa ternyata makhluk berakal yang bernama manusia bisa semudah itu dibuat tidak berdaya oleh makhluk berukuran mikro yang disebut virus.
Introspeksi dan kesadaran mesti digugah agar saat-saat seperti ini jangan malah dimaksimalkan untuk menyebar fitnah, berita bohong, hoaks, dan segala macam keburukan. Kita harus bergandeng tangan. Pemerintah, para ahli dan ilmuwan, serta masyarakat, semua harus berkelindan di lingkaran yang sama dalam melawan pandemi covid-19.
Bangsa kita sedang dirundung masalah. Karena itu, tak perlu sewot meskipun silaturahim Lebaran kita dibatasi hanya lewat virtual. Tidak perlu marah walaupun kita mesti dua kali menunda kepulangan ke kampung halaman.
Silaturahim, apa pun mediumnya, selalu menyimpan hikmah yang agung, yakni membangun kekuatan kita agar lebih percaya diri, terutama dalam menyelesaikan sebuah masalah. (e-mi/jdz)