JAKARTA – Indonesia dianggap sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Menjalani proses demokrasi pascareformasi membuat Indonesia yang berpenduduk 250-an juta menjadi anutan bagi negara-negara di dunia.
Bahkan, pada 2014 lalu, 154 perwakilan dari 30 negara menjadi visitor (peninjau) dalam Pemilu Legislatif 2014.
Kesuksesan menjalankan pemilihan presiden secara langsung dan pemilihan legislatif secara proporsional terbuka menahbiskan demokrasi Indonesia bergerak maju.
Rakyat punya kuasa sepenuhnya untuk menentukan siapa presiden dalam lima tahun ke depan. Dalam pemilu legislatif, siapa yang akan duduk di parlemen sepenuhnya bergantung pada rakyat. Itu disebabkan dengan sistem proporsional terbuka, suara rakyat menjadi penentu siapa-siapa yang akan duduk di parlemen. Dalam sistem proporsional terbuka rakyat berdaulat penuh.
Namun, ternyata muncul upaya untuk mengembalikan ke sistem proporsional tertutup, model pemilu Orde Baru, yang jelas dipandang lebih berpihak pada oligarki partai politik.
Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri dalam rancangan revisi UU 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, atau yang lazim disebut UU Pemilu, berpandangan bahwa proporsional terbuka banyak memunculkan politikus instan yang menjabat karena kekuatan modal dan popularitas mereka semata.
Usul kementerian yang dipimpin kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Tjahjo Kumolo itu direspons positif oleh PDIP. Partai pemenang Pemilu 2014 itu menegaskan akan memelopori digunakannya kembali sistem pemilu dengan proporsional tertutup.
Para pengusul dan inisiator tampaknya terlalu genit melakukan revisi untuk mengakomodasi kepentingan elite politik semata. Mereka tidak bervisi panjang dan cenderung tambal sulam. Perubahan undang-undang pemilu telah menjadi rutinitas lima tahunan menjelang pemilu.
Pembuat undang-undang itu mestinya sadar bahwa kedaulatan rakyat harus tetap dinomorsatukan. Bukankah DPR dan DPRD merupakan pelembagaan aspirasi rakyat untuk mewujudkan kedaulatan rakyat?
Ekses negatif sistem proporsional terbuka tidak harus dijawab dengan mengembalikan sistem pemilu tertutup. Memperkuat penegakan hukum pemilu lebih menjadi keharusan. Menindak semua praktik politik uang yang dilancarkan calon bermodal tebal menjadi keniscayaan. Sistem proporsional terbuka jelas telah membuka ruang partisipasi lebih besar, lebih mendekatkan pemilih kepada calon, komunikasi politik berjalan, dan kesempatan calon terpilih lebih adil. Itulah esensi dan kepentingan digelarnya pemilu langsung.
Partai politik juga diharapkan berbenah diri karena parpollah yang punya kewenangan mutlak untuk menempatkan calon legislatif di kertas suara.
Jika sekiranya seorang kandidat nirintegritas dan hanya bermodal popularitas dan mengandalkan uang, parpol sepenuhnya bisa menendangnya jauh-jauh dari daftar caleg mereka. Pendidikan politik terhadap rakyat juga mesti digencarkan, yang merupakan salah satu tugas utama parpol.
Demokrasi Indonesia semestinya tidak boleh dibiarkan kembali seperti membeli kucing dalam karung. Demokrasi tidak boleh mematikan partisipasi politik pemilih secara langsung dan justru memperkuat oligarki parpol sehingga hubungan antara pemilih dan wakil pascapemilu terputus dan dimanipulasi untuk kepentingan kelompok yang menguasai parpol.
Kecenderungannya, mereka yang berkeinginan menjadi anggota DPR lebih mengabdi kepada para petinggi partai di pusat atau di daerah daripada terhadap rakyat.
Proses demokrasi melalui sistem proporsional terbuka memastikan caleg yang meraih dukungan rakyat penuh yang bisa duduk di kursi legislatif. (mi/jdz)
Foto : Mendagri Tjahyo Kumolo