Menuju Pertaruhan Pilkada

oleh -24 Dilihat

PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) serentak di 270 wilayah (9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota) tinggal menghitung hari. Hari H pilkada pada 9 Desember 2020 mendatang ialah puncak pertaruhan apakah gelaran demokrasi itu bisa ‘bersahabat’ dengan situasi pandemi covid-19 atau malah membuat pandemi makin memburuk.

Bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara, tentu tidak ada istilah lain selain optimistis dan yakin pilkada kali ini akan dapat menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Mereka mengaku siap, bahkan mengklaim telah memberikan perhatian khusus terhadap 17 daerah yang berdasarkan pemetaan diketahui berisiko tinggi penularan covid-19.

Namun, di lain sisi, tidak berlebihan juga bila publik masih menyimpan kecemasan bahwa pilkada di masa pandemi akan melonjakkan angka positif covid-19 di Indonesia. Terlebih dalam sepekan terakhir gelombang covid-19 seolah tak terbendung. Beberapa kali bahkan mencapai rekor kenaikan sejak kasus tersebut muncul di Tanah Air pada Maret lalu.

Kecemasan semakin menguat karena dalam rangkaian prosesnya, terutama di masa kampanye, protokol kesehatan kerap diabaikan. Kampanye daring hampir tak laku, sejumlah calon kepala daerah malah semakin intensif melakukan pertemuan tatap muka.

Di sinilah yang kerap memunculkan masalah karena kampanye tatap muka yang sedianya hanya boleh dihadiri maksimal 50 orang, dalam praktiknya banyak dilanggar dan menciptakan kerumunan. Sejumlah calon kepala daerah pun terpapar covid-19 dan beberapa di antaranya meninggal dunia.

Pada Oktober lalu KPU mengakui ada tiga calon kepala daerah meninggal dunia karena covid-19, sedangkan Perludem menyebut enam orang meninggal.

Kecemasan publik inilah yang mesti dijawab dengan aksi nyata dan terukur oleh lingkaran koordinasi KPU, Bawaslu, pemerintah pusat, pemerintah daerah, juga Satgas Penanganan Covid-19.

Pilkada jelas tidak bisa ditunda lagi. Pertaruhannya tak kalah besar jika pemerintah tiba-tiba memutuskan menundanya sekarang. Karena itu, yang kita butuhkan saat ini ialah kesungguhan pemerintah dalam melindungi rakyat.

Harus diakui, meski sudah ada Peraturan KPU (PKPU) No 6/2020 yang mengatur ketentuan tentang protokol kesehatan di tahapan pilkada, ditambah PKPU No 13/2020 yang diklaim makin menegaskan penegakan hukum bagi pelanggar protokol kesehatan, publik melihat penegakan hukum itu tak terlalu tergambar jelas di masa kampanye saat ini.

Jalan satu-satunya untuk membuktikan komitmen pemerintah yang sejak awal berkukuh tetap melaksanakan pilkada ialah memastikan pelaksanaan pemungutan suara pilkada, 9 Desember mendatang, betul-betul pro dengan protokol kesehatan. Tidak ada lagi tawar-menawar.

Masih ada dua minggu dari sekarang untuk mematangkan persiapan menuju hari H tersebut. Jangan sampai ketakutan, kecemasan publik ini berlanjut hingga saat pemungutan suara karena hal itu akan menjadi pertaruhan baru lagi. Pertaruhan terkait partisipasi pemilih.

Saat ini saja berdasarkan data sejumlah lembaga survei, proyeksi jumlah orang yang akan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) tidak lebih dari 49%. Di situlah ujian sesungguhnya dari penyelenggaraan kontestasi demokrasi di masa pandemi.

Pilkada setidaknya harus mampu menyeimbangkan dua hal: mengendalikan ancaman penyebaran covid-19 di satu sisi, dan mengerek (atau setidaknya menahan tidak anjlok) tingkat partisipasi pemilih.

Jika itu gagal dilakukan, pilkada boleh saja menghasilkan pemenang. Akan tetapi, pasangan calon terpilih akan mengalami krisis legitimasi dari rakyat. (ed-mi/jdz)