Menunggu Solusi Jitu Atasi Perdagangan Orang di NTT

oleh -17 Dilihat

Oleh Mira Natalia Pellu

NUSA Tenggara Timur seakan tak lepas dari berita berselimut rasa kabung. Khususnya terkait kasus perdagangan orang atau human trafficking yang menimpa pekerja migran Indonesia (PMI) asal provinsi tersebut. Salah satu contohnya, Sabtu (9/11/2019), NTT kembali harus berlinangan air mata menerima dua kiriman jenazah yang meninggal di tempat kerjanya di Malaysia. Kedua jenazah itu masing masing bernama Yakobus Ola Bolen dan Yulius Mendosa. Yakobus adalah pekerja migran asal Desa Nelelamadika, Kecamatan Ileboleng, Kabupaten Flores Timur. Sementara Yulius berasal dari Kampung Sukabi, Desa Kamanasa, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka.

Seperti kebanyakan pekerja migrant asal NTT lainnya, proses keberangkatan Yakobus dan Yulius ke Malaysia, tidak terdata di Balai Pelayanan Penempatan dan PerlindunganTenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) NTT di Kupang. Catatan itu menandai keduanya adalah PMI ilegal.

Sepakat dengan Direktur Padma (Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian) Indonesia, Gabriel Goa di Jakarta, NTT kini layak dengan label baru: provinsi darurat perdagangan orang! Betapa tidak. PMI illegal asal NTT yang menjadi korban meninggal di tempat kerjanya di luar negeri, khususnya Malaysia, dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat.

Masih mengutip catatan Gariel Goa yang juga Sekretaris Jarnas Anti TPPO (Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang), jumlah jenazah PMI illegal yang dikirim kembali ke NTT tahun 2017 sebanyak 62 orang. Jumlahnya meningkat menjadi 105 orang tahun 2018. Lalu, sejak Januari hingga awal pekan kedua November 2019, sudah menyentuk angka 103 orang, termasuk Yakobus Ola Bolen dan Yulius Mendosa.

Pengiriman jenazah pekerja migrant dari seberang, tak jarang dalam waktu berdekatan. Salah satu contoh sebelumnya terjadi medio September lalu. Ketika itu, NTT selama tiga hari berturut turut menerima kiriman tiga peti jenazah, masing masing atas nama Jidron Faot, Yanto Olin dan Maria Yance Siki.

Jidron Faot adalah TKI asal Lelobatan, Kecamatan Molo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan atau TTS. Jidron dilaporkan meninggal di Kuala Lumpur, Malaysia dan jenazahnya baru tiba di NTT, Jumat (13/9), melalui Bandara El Tari Kupang. Pada hari berikutnya, Sabtu (14/9), NTT harus melanjutkan perkabungan menerima jenazah bernama Yanto Olin, PMI asal Desa Banfatu, Noemuti, Kabupaten Timor Tengah Utara atau TTU. Lalu pada Minggu (15/9), jenazah atas nama Maria Yance Siki tiba di Kupang melalui bandara yang sama, El Tari. Maria adalah PMI asal Desa Tun Noe, Kecamatan Miomafo Timur , Kabupaten TTU.

Mengutip berbagai sumber, mereka adalah bagian dari korban mafia perdagangan orang, yang sejak lama bergerilya di NTT. Para korban meninggal itu rata rata akibat kekerasan.

Sangat Meresahkan

Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat bersama pasangannya, Josep Nae Soi sejak awal kepemimpinannya menempatkan kasus perdagangan orang sebagai salah satu persoalan serius di daerahnya. Sesaat setelah dilantik di Jakarta, awal September 2018, Viktor dengan tegas berjanji akan menghentikan mafia human trafficking di NTT karena kasusnya sudah sangat meresahkan.

Katika menyampaikan pidato perdana sebagai Gubernur di DPRD NTT, Senin (10/9/2018), Viktor Laiskodat mengancam akan mematahkan kaki para pelaku mafia perdagangan orang atau human trafficiking di NTT. Ia pada saat yang sama juga menyampaikan kebijakan moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia dari NTT. Alasannya, selain angka kematian TKI terus meningkat, juga karena mafia perdagangan orang dilihatnya sebagai modus perbudakan baru di NTT. Namun janji hingga ancaman Gubernur Viktor akan mamatahkan kaki para pelaku mafia perdagangan orang di NTT, rupanya belum menjelma menjadi solusi jitu. Faktanya, mafia kasus itu masih terus terjadi di NTT. Juga pekerja migran atau TKI asal NTT yang menjadi korban meninggal dan umumnya akibat kekerasan di tempat mereka bekerja, tak kunjung menujukkan tanda-tanda surut.

Menyaksikan kondisi itu, kelompok masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Peduli Kemanusiaan, Senin (6/5/2019) melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur NTT di Kupang, Mereka mendesak sikap tegas Gubernur NTT Viktor bersama wakilnya, Josep Nae Soi menuntaskan kasus perdagangan orang di NTT. Melalui aksinya itu pula, para pendemo menagih janji Gubernur Viktor akan mematahkan kaki para pelaku mafia perdagangan orang di NTT. Alasan mereka, kasus human trafficking di NTT masih terus saja terjadi dan meresahkan. Itu berarti NTT hingga kini masih terus menunggu solusi mumpuni yang dapat menuntaskan kasus tersebut hingga akar akarnya.

Melalui Kerabat dan Tetangga

Masukan lainnya. Barangkali ada harganya mencermati temuan tim wartawan Kompas setelah melakukan liputan khusus tentang mafia perdagangan orang, antara lain di Desa Meusin, Kecamatan Boking, Kabupaten Timor Tengah Selatan atau TTS, awal Juli 2019. Sebagaimana dipublikasikan di Kompas, Selasa (30/7/2019), modus perekrutan calon tenaga kerja ke luar negeri di perkampungan telah berubah. Para perekrutnya justru dilakukan oleh kerabat dan tetangga di desa yang sama. Atau dengan kata lain, tidak lagi dilakukan oleh para calo dari luar atau daerah lain sebagaimana terjadi sejak lama.

Publikasi Kompas itu bahkan secara rinci menggambarkan proses perekrutan calon tenaga kerja ke luar negeri yang terjadi di Desa Muesin. Disebut jelas salah seorang perekturnya berinitial AA, yang sehari hari berprofesi sebagai guru di Meusin. Salah satu korban rekrutannya adalah seorang anak berinitial OK. Ketika diberangkatkan ke Malaysia tahun 2012, OK masih berusia 14 tahun. Setidaknya hingga kunjungan Kompas ke Desa Meusin awal Juli 2019, keluarga korban tidak mengetahui keberadaan dan nasib OK.

Temuan tim Kompas tersebut barangkali layak menjadi masukan merumuskan sebuah aksi lebih mumpuni memerangi mafia perdagangan orang yang belum kunjung surut di NTT. Gubernur NTT Viktor Laiskodat memiliki komitmen kukuh dan selalu bersikap tegas menggulirkan terobosan mengatasi berbagai kasus serius di NTT, termasuk mafia perdagangan orang! (***)

*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta