Menyusuri Tana Ai, Sebuah Perjalanan Yang ‘Menjengkelkan’

oleh -46 Dilihat

MAUMERE – Sebuah cerita akhir pekan yang penuh kesan, baru saja kami lewati. Akhir pekan di kampung-kampung terpencil, yang jauh dari sentuhan pembangunan. Dari soal infrastruktur jalan, masalah pendidikan, kesehatan, pariwisata, perdagangan, perkebunan dan pertanian, termasuk urusan agama, sampai ke pemenuhan kebutuhan hidup.

Jumat (28/4), satu rombongan kecil, bertolak dari Paroki Nebe dengan empat sepeda motor. Pastor Paroki Romo Yan Faroka berboncengan dengan Tovik Koban dari TV One, lalu Ruben Raintobi dari TVRI sendiri mengendarai GL Pro, terus tokoh muda Nebe bernama Yoris dengan GL-100 yang disebutnya Ksatria Baja Hitam, dan seorang tokoh muda lainnya bernama Sipri, memboncengi saya. Usai melahap habis ipung (makanan khas berupa ikan-ikan keci) yang disiapkan Mama Lusi, kami pun memacu laju roda dua menuju objek.

Ini akhir pekan untuk lebih mendekatkan diri dengan nafas kamu-kaum tak bersuara di Tana Ai. Mereka yang hidup terpencil di tengah kesemarakan duniawi. Sengaja kami ke sana, untuk mendengar suara mereka, menyaksikan suka-duka mereka, termasuk merasakan derita mereka.

Menurut cerita, dari Blawuk Desa Nebe hingga Lewomudat Desa Ojang, terdapat sebuah kehidupan yang sangat ironis. Tuhan memberikan mereka ‘surga’ dengan tanaman perdagangan dan pertanian yang begitu luar biasa. Tapi justeru mereka terperangkap dalam kehidupan yang serba kolot.

Jambu Mente

Ribuan pohon jambu mente berdiri tegak di sepanjang jalan. Membentang sepanjang kurang lebih 11 kilometer, dari Blawuk, Buhesoge, Klatang, Kajowain, hingga Lewomudat. Jambu mente laksana flamboyan bagi sebagian besar warga di situ. Rata-rata warga memiliki lahan yang ditanami jambu mente.

Dari tanaman inilah warga menyambung hidup dan kebutuhan hidup mereka. Segala macam aspek yang membutuhkan biaya, jambu mente merupakan sandaran hidup yang paling penting bagi mereka. Jambu mente membiayai sekolah anak, uang komite, urusan kesehatan, dan seluruh kebutuhan hajat hidup.

Selain jambu mete, daerah ini terkenal juga dengan pelbagai hasil perkebunan dan pertanian. Sebut saja kemiri, pisang, kelapa, nangka, ubi kayu, dan lain-lain. Sejatinya, masyarakat hidup tidak berkekurangan, karena potensi sumber daya alam cukup baik.

Infrastruktur Jalan

Tapi rasa miris mulai menghantui ketika menginjak kaki di Blawuk. Dari pertigaan sebelum Jembatan B, tanjakan terjal sudah siap kasih ‘pelajaran’ awal. Apalagi dengan badan jalan yang hampir semuanya rusak sudah siap menantang. Kurang lebih 1 kilometer, adrenalin kami dipacu melewati ‘cobaan’ ini. Kendaraan roda dua harus jalan tertatih-tatih. Setidaknya harus empat kali berhenti untuk mendorong roda dua agar bisa terus mendaki.

Di ujung tanjakan ini, tidak sengaja kami bertemu Sekretaris Desa Nebe Petrus Gein. Dia berjalan kaki saja hendak menuju Buhesoge, bertemu warga untuk sebuah urusan dinas. Sebuah pengabdian yang jarang dilakukan di zaman moderen seperti ini.

“Kondisi jalan sudah seperti ini, kita harus mendaki dari bawah. Setiap tahun jalan ini bertambah rusak. Tahun lalu ada pekerjaan rabat, tetapi sekarang sudah rusak semua. Angkutan pedesaan sudah tidak berani lewat lagi, jadi warga masyarakat hanya gunakan roda dua saja, itu pun harus ekstra hati-hati. Karenanya lebih banyak warga pelintas memilih berjalan kaki saja,” jelas dia.

Untuk sampai ke Dusun Klatang, Desa Wailamung, yang berbatasan dengan Desa Nebe, masih 3 km lagi. Tidak ada lagi tanjakan yang menantang, meski kami harus menyusuri sebuah topografi yang sulit. Batu-batu besar menganga keluar pada badan jalan selebar 1,5 meter yang masih beralaskan tanah.

Di tengah jalan kami bertemu banyak warga masyarakat berjalan kaki membawa pisang, ubi kayu, dan hasil perkebunan. Mereka hendak menjualnya ke Pasar Talibura.

Evasiana Esi, seorang warga Dusun Klatang mengaku terpaksa berjalan kaki karena tidak ada angkutan pedesaan yang masuk ke kampung. Dia meneteng satu tas daun ubi kayu, dan satu tandan pisang ditaruh di atas kepalanya. Ikut dengan dia, seorang anak perempuan sekitar 10 tahun, sudah putus sekolah, membawa satu tandan pisang.

Di Klatang, kami disambut Kepala Desa Wailamung Markus Muchlis. Kami sempat mengunjungi SDN Klatang, bertemu Petrus De’e, sang Kepala Sekolah, dan beberapa orang guru. Banyak cerita miris dari sekolah ini.

Kondisi yang sama ketika dari Klatang kami menyusuri jalan menuju Kajowain, masih di  Desa Wailamung. Sejauh 3 kilometer, hampir semua badan jalan rusak tergerus air, menyisakan bongkahan batu-batu terjal yang mengancam roda kendaraan motor. Sedikit lega, ketika kurang lebih 500 meter bertemu jalan rabat yang baru selesai dikerjakan tahun lalu. Selepas dari jalan rabat, kembali kami harus berpacu dengan kondisi jalan yang rusak total.

Seratus meter sebelum sampai ke pertigaan Kajowain, badan jalan yang rusak makin parah. Batu-batu besar berhimpitan tidak teratur, sehingga menyulitkan laju roda dua. Yang dibonceng terpaksa turun, agar si pengendara lebih leluasa dan fokus.

Di Kajowain, kami bertandang ke SDN Kajowain. Bertemu Gabriel Ton, kepala sekolah yang berasal dari Kefamenanu. Enam tahun sudah dia menjadi pemimpin di sekolah itu. Ada banyak kisah menarik yang kami dengar dari sini.

Dari Kajowain, kami menuju Lewomudat Desa Ojang, sejauh kurang lebih 4 kilometer. Belum sampai 50 meter, roda dua harus berpacu dengan crossway kecil yang dibuat alamiah dari kayu-kayu bahan lokal. ‘Tantangan’ ini masih sederhana karena cukup mudah melewati pada musim panas seperti sekarang.

Sesudahnya kami harus menyusuri jalan setapak, hingga kurang lebih 100 meter ke depan. Di sana, sebuah kali yang tanpa air menghadang kami. Batu-batu besar menutupi badan jalan. Dan praktis roda dua terhenti di situ. Tidak ada pilihan, kami harus berjalan kaki saja.

Jadilah kami berjalan kaki saja sejauh lebih dari 3 kilometer, menyusuri jalan setapak hingga sampai ke Lewomudat. Berjalan di antara ‘sombongnya’ jambu mente, yang rapi berdiri tegak di kiri-kanan jalan. Sesekali mendaki punggung badan jalan dengan ngos-ngosan, dan sesekali berjalan turun dengan hati-hati menghindar tajamnya batu.

Masih banyak lahan tidur yang ‘tersembunyi’ di sini. Air menjadi masalah utama. Akibatnya masyarakat pun tidak bergairah menggarap lahan tidur.

Tiba di Posyandu Lewomudat, kami disambut Kepala Desa Ojang dan warga masyarakat yang menghuni pemukiman translok. Rasa capai hilang sekejap setelah disuguhi daging rusa.

Episode kami belum terhenti, karena kami harus menyusuri lagi jalan sejauh kurang lebih 1 kilometer untuk menuju Kali Kopakema yang berbatas dengan Dusun Kolit Desa Ojang. Sebelum tiba di kali ini, kami harus melewati Kali Tilu Ping (bahasa setempat artinya telinga pekak). Sebelum menyeberangi Tilu Ping, kami berhenti sejenak, menyaksikan gladibersih pentahtaan Patung Bunda Maria pada Gua Alam.

Air segar di Kopakema seakan menjadi obat mujarab menghilangkan kepenatan kami sejak dari Blawuk. Semua menceburkan diri, bermandi ria, bercengkerama dalam kegelisahan, sekiranya suara kencang teriakan kami dalam air tentang penderitaan masyarakat bisa terdengar oleh para pengambil kebijakan.

Kembali pulang, kami harus bertatih-tatih kembali sampai di mana motor kami diparkir. Kembali menikmati perjalanan yang ‘menjengkelkan’. Dan tiba di Paroki Nebe, daging celeng sudah terjamu rapi di pendopo pastoran.

Yah, infrastruktur jalan menjadi kendala terbesar di wilayah ini. Karena itu tidak usah heran, karena tidak ada angkutan pedesaan yang berani menyusuri Blawuk hingga Klatang, apalagi menembus sampai Kajowain hingga Lewomudat.

Infrastruktur jalan menjadi penghambat besar wilayah-wilayah ini bisa berkembang seperti daerah lainnya. Hasil perdagangan macet karena jarang dibawa ke luar. Para pengusaha jual beli hasil menangkap kondisi ini. Setiap hari mereka datang menjelajah untuk membeli hasil perdagangan masyarakat. Sudah pasti, harga pun menjadi murah meriah. (vicky da gomez)

Ket Foto: Infrastruktur yang buruk di sepanjang jalan dari Blawuk Desa Nebe, Kajowain Desa Wailamung menuju Lewomudat Desa Ojang, membuat seluruh kehidyupan masyarakat di wilayah ini menjadi terisolir, seperti tampak dalam gambar, warga sedang membantu mendorong kendaraan roda dua.