Nasib Perempuan Lembata yang Kian Terancam

oleh -24 Dilihat

Nurhayati Kasam, SH pose bersama dari kananAlbertus Muda, Reineldis Wayan, Maria Leman (Korban KDRT yang sedang didampingi PERMATA), dan Maria Loka.

LEWOLEBA – PERMATA salah satu LSM yang menangani kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Lembata terus menginisiasi berbagai organisasi di Lembata untuk duduk bersama dalam sebuah diskusi terbatas menyoroti eksistensi perempuan Lembata yang kian suram oleh karena kondisi-kondisi sosial juga budaya patriarkat yang kurang berpihak pada kaum perempuan.

Diskusi yang menghadirkan Nurhayati Kasman, SH, salah satu pengacara perempuan asal Lembata yang saat ini bekerja di LBH SIKAP Lembata yang berlangsung di Sekretariat PERMATA pada Selasa (20/10/20200), menjadi sangat menarik. Sebab, perempuan asal Kedang ini membeberkan berbagai hal tentang perempuan Indonesia khususnya Lembata yang selalu berada pada posisi dieksploitasi.

Pengacara muda yang juga salah satu anggota yang dipercayakan merintis organisasi Solidaritas Perempuan Indonesia (SPI) di NTT mengatakan, saat ini SPI sebagai salah satu organisasi nasional yang peduli perempuan baru tersebar di 11 provinsi. Menurutnya, struktur SPI NTT belum terbentuk karena saat ini masih dilakukan pemetaan terkait situasi dan kondisi. Meski demikian, ia mengisahkan, SPI telah melakukan beberapa kajian terkait persoalan tanah yang menimpa perempuan adat di Besipae pada tahun 2016 silam.

Pengacara muda yang saat ini dipercayakan sebagai Kabid Perlindungan Anak dan Perempuan pada LBH SIKAP Lembata mengatakan, ada empat isu pokok yang akan terus dikampanyekan oleh SPI meliputi: buruh migran perempuan, perempuan berdaulat atas tanah, perdagangan perempuan dan seksualitas perempuan.

Keempat isu pokok dan sentral sekaligus menjadi program nasional SPI ini hendaknya tidak menjadi program eksklusif SPI tetapi sedapat mungkin dijadikan aksi bersama dengan membangun jaringan antarorganisasi yang menangani berbagai persoalan di bidang kemanusiaan, khususnya perempuan Lembata.

Menurut Nur, sapaan akrabnya, NTT merupakan kantong buruh migran perempuan terbesar di Indonesia. Saat ini, katanya, pemerintah Malaysia sedang berkoordinasi dengan pemerintah Indonesia untuk melakukan deportasi buruh migran asal Indonesia yang berjumlah sekitar 420-an orang. Dari jumlah tersebut, lanjutnya, 240 buruh migran berasal dari NTT. Ia sangat menyayangkan karena para buruh migran yang dipulangkan banyak juga yang terinfeksi HIV/AIDS.

Perempuan yang pernah menjadi bagian dari LSM PERMATA Lembata ini juga menyayangkan penanganan kasus-kasus selama ini khususnya perzinahan dan pelecehan maupun pemerkosaan, sering penanganan perkaranya kurang mempertimbangkan perspektif korban khususnya korban perempuan dan anak.

Ia menegaskan, pada titik ini tampak jelas kekurang-berpihakan hukum terhadap kaum perempuan. Di satu sisi, nasib perempuan terus terancam, di lain sisi, keberpihakan terhadap korban perempuan pun rasanya sangat jauh bahkan nihil.

Nur berpesan, kaum perempuan hendaknya membekali diri dengan berbagai pengetahuan agar mampu menganalisis berbagai persoalan dan tidak gegabah dalam menangani persoalan-persoalan yang menimpa setiap perempuan.

Ia juga berharap, semua perempuan bersatu manakala seorang perempuan tersandung atau tertimpa kasus. Menurutnya, perlu dilakukan penguatan perempuan di kelas akar rumput yang tidak mengerti bahkan tidak paham soal hukum. Kerana itu, lanjutnya, perlu pemetaan situasi perempuan di lapangan melalui penguatan SDM di lokus kasus.

Sementara itu, Maria Loka selaku Ketua LSM PERMATA Lembata mengatakan, nasib perempuan Lembata saat ini miris dan memprihatinkan. Ia membeberkan data kasus kekerasan perempuan sepanjang tahun 2020 sebanyak 15 kasus. Itu pun menurutnya, kasus-kasus tersebut sampai terangkat ke permukaan karena pihak korban yang datang mengadu ke sekretariat Permata.

Sementara itu, kasus kekerasan terhadap anak terbilang lebih tinggi. Namun, banyak perempuan yang mendiamkan kasus yang menimpanya karena kuatir dicemooh atau disalahkan keluarga korban.

Penguatan Kaum Perempuan

Reineldis Wayan, aktivis Komunitas Kasih Insani Lembata yang secara spesifik menangani orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) mengatakan, persoalan yang menimpa perempuan di Lembata saat ini semakin tak terbendung. Untuk itu, ia mengusulkan agar segenap elemen terkait secara periodik menjadwalkan waktunya untuk mengedukasi dan melakukan pendekatan terhadap masyarakat khususnya perempuan korban kekerasan.

Ia berharap, meskipun saat ini sedang dalam situasi pandemi covid-19 tetapi secara bersama sesuai waktu yang ditetapkan, melakukan secara rutin pertemuan dengan masyarakat di titik-titik kasus yang telah dipetakan. Di titik-titik tersebut, lanjutnya, tim yang merupakan gabungan dari berbagai organisasi kemanusiaan di Lembata boleh memberi pemahaman tentang hak-hak warga khususnya sebagai perempuan.

“Saya minta kepada PERMATA agar bisa membuat konsep yang efektif efisien agar bisa secepatnya kita eksekusi. Edukasi mesti menjadi prioritas saat ini,” harap dia.

Nurhayati Kasman dalam closing statementnya mengatakan, saat ini fokus aliansi perjuangan hak kaum perempuan hendaknya pada bagaimana mengajak kawan-kawan di setiap LSM di Lembata untuk kembali mengaktifkan program-program kerja yang menjadi prioritas lembaga kerja di Lembata. Karena, menurutnya, kesusksesan kita dalam dunia gerakan akan sangat terasa dampaknya ketika aliansi yang kita bangun bekerja efektif dalam pendampingan isu-isu di setiap gerakan.

Solidaritas Perempuan Indonesia, menurutnya, masih dalam perkenalan bagaimana mencari mitra atau partner di NTT khususnya di Lembata. Dengan berfokus pada empat isu besar yang sudah digambarkan itu, hendaknya menjadi prioritas untuk dilaksanakan di Lembata. “Sebagai pengacara, saya mengajak teman-teman agar bergabung dengan LBH SIKAP,” katanya.

Ia mengatakan ruang edukasi umum kepada masyarakat akar rumput atau yang termarginalkan karena kurang mendapat sentuhan pendampingan mesti dibuka seluas-luasnya.

Di akhir diskusi, Maria Loka mengatakan, sangat bersyukur karena walaupun dalam jumlah terbatas tetapi bisa sharing dalam suasana saling berbagi. Selain itu, lanjutnya, diskusi yang digagasnya membuka ruang bagi terjaringnya informasi. “Kita perlu mendapatkan informasi yang jelas agar ketika kaum perempuan mengalami kekerasan, mereka bisa mengetahui dan paham jalur pengaduannya dan bagaimana cara atau strategi menanganinya,” ujarnya.

Perempuan jebolan sarjana Pastoral STP Reinha Larantuka mengungkapkan, melalui diskusi ada banyak masukan berharga yang didapatkan. “Informasi dari LBH SIKAP menjadi salah satu referensi bagi kita semua,” tegasnya.

Ia mengatakan, saat ini kekerasan terhadap perempuan di dalam keluarga juga terhadap anak-anak hampir terjadi setiap hari tetapi lebih banyak ditutupi karena tidak tahu bagaimana menangani dan kepada siapa harus mengadu.
“Sebuah langkah awal yang baik telah kita mulai bersama diskusi berikutnya mungkin teman-teman perempuan yang lainnya diharapkan bisa hadir. Berdiskusi bersama sebagai kekuatan untuk perempuan karena persoalan perempuan hanya bisa dapat di selesaikan oleh perempuan sendiri,” pungkasnya.

Peserta lainnya yang hadir seperti Adriana Banguhari dari LSM Permata, Nefi Eken dari Komunitas Peduli HIV/AIDS NTT-Lembata, Hana Pertiwi Witak dari relawan Taman Daun, Maria Leman korban KDRT, Dominikus Karangora dari WALHI NTT dan Albertus Muda selaku penyuluh Non PNS Kabupaten Lembata pun memiliki pendapat kurang lebih sama dengan apa yang disampaikan sebelumnya. (am/che)