Oligarki Parpol Masih Kuat, Rakyat Lembata Sedang Frustrasi

oleh -20 Dilihat

Jakarta, mediantt.com –  KPU Lembata sudah menjadewalkan pasangan calon pada 19-21 September 2016, tapi hingga saat ini belum ada pasangan calon yang melakukan deklarasi paket secara resmi. Fakta politik ini tentu memantik tanda tanya publik apa sesungguhnya yang terjadi. Dari situasi ini, Analis Politik yang saat ini menjadi peneliti pada Lembaga Analisis Politik Indonesia, (API) Jakarta, Mikhael Rajamuda Bataona, berpendapat, dari realitas politik di Lembata saat ini, bisa dikatakan rakyat Lembata sedang mengalami semacam frustrasi sosial sebagai akibat masih kuatnya ‘hukum oligarki partai politik’.

“Alasannya, sulit untuk saat ini rakyat bisa mendapat formasi figur calon bupati dan wakil yang memang dikehendaki oleh akar rumput dan diaspirasikan dari bawah oleh aparatus partai politik, baik dari tingkat ranting dan desa hingga kecamatan dan kabupaten.  Petugas partai di level bawah seperti di Lembata sesungguhnya tidak punya posisi tawar yang kuat dalam pengambilan keputusan. Ini kita bicara riil politiknya. sebab tanpa uang, pengurus partai di kabupaten tidak punya wewenang apapun dalam menentukan calon,” kata master ilmu politik jebolan Pasca Sarjana Univesrsitas Padjajaran Bandung ini kepada mediantt.com, di Jakarta, Senin (12/9) malam.

Ia mengatakan, ia bersama para koleganya di Jakarta sedang mengkaji fakta ini, bahwa banyak keputusan partai untuk hampir seluruh Pilkada di Indonesia saat ini bermain denga cara demikian. Bahkan kader partai sekalipun harus membayar mahar demi mendapat pintu partainya. Nah, dari banyaknya kasus seperti ini bisa kita katakan bahwa di Negeri ini benar adanya bahwa politik itu nihil moralitas.

Meski dalam kampanye dan slogan partai, moral itu dijual sebagai alat menaikan citra politik tapi dalam pelaksanaannya tidak demikian.  Konsekuensinya adalah praktek politik kita kualitasnya masih sangat buruk. Politik praktis dan moralitas politik tidak pernah bergandengan. setiap keputusan politik selalu kering pertimbangan moralnya.

Padahal, sebut dia, ibarat aturan main dalam permainan bola, moralitas itulah yang menjadi rambu-rambunya. Moral menjadi aturan main yang dipegang para pemain politik. persis seperti sepak bola, tekel dan gerak tipu diperbolehkan tetapi harus selalu dalam kerangka aturan main bola.

“Tapi faktanya ternyata tidak demikian. Jadi untuk Lembata pun sulit menemukan keputusan di level elit yang memang mempertimbangkan aspek moral, etis dan aspirasi rakyat dari akar rumput soal siapa saja calon yang layak secara integritas dan kompetensi. Bukan hanya soal tingkat keterpilihan atau konstituensinya. Buruknya sistem rekruitmen dalam partai mengakibatkan partai yang seharusnya menjalankan fungsi-fungsinya seperti, rekruitmen politik, aspirasi, agregasi kepentingan dan sosialisasi, menjadi mandul dan tidak produktif. Partai bukan lagi alat konsolidasi demokrasi tetapi konsolidasi uang dan kekuasaan,” kritik putra Lamalera yang juga dosen Unika Kupang ini.

Masih Sangat Feodal

Menurut dia, hukum yang berlaku adalah hukum besi oligarki partai politik yaitu berkuasanya sekelompok elit di Jakarta yang sewenang-wenang menentukan arah bandul politik partai tanpa mempertimbangkan aspirasi pengurus partai di daerah. Alhasil, pengurus di tingkat bawah harus tunduk pada titah sang raja atau ratu partai di level elit. “Atau secara sarkastis kita bisa katakan bahwa partai-partai kita boleh modern, tapi tata kelolanya masih sangat feodal. Partai-partai kita masih meneyerupai sistem kerajaan di zaman Viktorian di Eropa. Akibatnya, yah, rakyat seperti di Lembata akan terus menjadi korban transaksi dan tawar-menawar kepentingan elit-elit di Jakarta. Jadi figur yang nantinya diputuskan pada batas waktu menjelang pendaftaran calon adalah figur-figur yang sudah disetting oleh para elit partai di Jakarta demi memproteksi kepentingan mereka,” tandas Rajamuda.

Ia juga mempertanyakan mengapa hal ini bisa terjadi. Alasannya, jelas dia, karena di Republik ini sudah bukan rahasia lagi bahwa parpol adalah mesin kekuasaan dan mesin uang di tangan kelompok oligarki, yang menjadikan partai bukan sebagai institusi demokrasi yang menjalankan aspirasi rakyat, tetapi organisasi yang diurus seperti perusahaan dagang. “Ini merupakan konsekuensi dari lemahnya sistem pengawasan oleh rakyat lewat wacana-wacana kritis di ruang-ruang publik, seperti warung kopi dan dunia maya seperti facebook dan twiter. Akibatnya adalah terus menguatnya praktek ‘hukum besi oligarki partai politik’ tapi rakyat tidak menyadari itu. Rakyat lalu harus memilih figur yang dipasang partai, apalagi petugas partai di daerah pun tunduk pada hukum besi oligraki partai ini, di mana titah raja dalam hal ini ketua umum dan para aristokrat di level elit partai adalah sabda pandita raja. Keputusan mereka adalah dogma dan ayat suci yang wajib dipatuhi,” tegasnya.

Bagi dia, fakta ini sekaligus menunjukan bagaimana kualitas demokrasi di Indonesia. Meski zaman sudah moderen dan maju, tapi kita masih menganut sistem monarki secara de facto dalam diri partai-partai politik. Jika kita ingin menjadikan demokrasi berkualitas, maka seharusnya draf keputusan partai politik wajib dikontestasikan terlebih dahulu di ruang-ruang publik agar sebelum diputuskan, draf calon itu sudah mendapat legitimasi dari argumentasi-argumentasi terkuat dari rakyat. “Dengan sistem satu pintu di mana pengurus partai daerah hanya patuh pada titah pandita raja, yaitu tunduk pada hukum besi oligarki partai politik, maka kita tidak perlu bicara tentang kemajuan dalam berdemokrasi di Lembata, tapi bicaralah tentang perubahan alat memaksa para elit yang tujuannya adalah untuk menggandakan kekuasaan mereka,” kritik dia. (jdz)

Ket Foto : Mikhael Rajamuda Bataona (baju hitam berkacama/kedua dari kanan) bersama bersama orangCharles Beraf, SVD, Bona Beding, Paskalis Bataona,usai seminar di Jakarta, bulan lalu.