Tidak banyak orang yang menghadiri perayaan HUT Otda Lembata ke-22. Banyak kursi kosong.
LEWOLEBA, mediantt.com – Tidak ada gegap gempita dalam peringatan HUT Otonomi Lembata ke-22, Selasa 12 Oktober 2021. Antusiasme warga pun makin pudar. Tidak banyak orang yang hadir merayakan hari bersejarah itu. Bisa jadi karena otonomi itu tidak memberi dampak positif terhadap perubahan kehidupan masyarakat. Tapi otonomi mulai memenuhi makna sesungguhnya di masa kepemimpinan Bupati Thomas Ola Langoday.
“Kabupaten Lembata pernah punya 6 orang pemimpin puncak otonomi; 3 orang penjabat bupati dan 3 orang bupati. Bupati ke tiga (Thomas Ola, red) bukan pilihan rakyat. Tapi baru pada kepemimpinan bupati ketiga dengan rentang waktu 8 bulan ini, sepertinya otonomi memenuhi makna atau arti sesungguhnya. Persoalan rakyat mulai ditangani serius oleh Pa Thomas,” tegas mantan anggota DPRD Lembata, Bediona Philipus, SH, M.Si kepada mediantt.com, Selasa (12/10), usai mengikuti upacara Peringatan HUT 22 Otonomi Lembata.
Dia menyebutkan antara lain, persoalan kualitas SDM, yang tercermin dari pelayanan kesehatan dan biaya pelayanan kesehatan (BPJS). “Sejak menjadi penjabat/pelaksana tugas bupati, Thomas menandatangani perubahan atas keputusan bupati sebelumnya yang menarik semua pelayanan kesehatan (BPJS) hanya ke RSUD Lembata. Dengan keputusannya, Pa Thomas mengembalikan pelayanan kesehatan masyarakat hanya dari RSUD, ke tiga RS yang ada di Lewoleba; RSUD, RS Bukit dan RS Damian,” tegas mantan dosen Unika Kupang ini.
Bupati Thomas Ola juga menjawabi persoalan bahan bakar minyak (BBM), kelangkaan bbm yang sudah lama dibiarkan, antrean panjang dan harga bbm yang tidak normal, mulai teratasi.
Selain itu, jelas dia, penataan infrastuktur, termasuk dalam Kota Lewoleba. “Ini yang menjadi persoalan selama kepemimpinan Ande Manuk hingga Yentji Sunur,” ujarnya.
Bediona juga mengatakan, Lembata punya persoalan serius dengan birokrasi. “Dan menurut saya, apa yang Thomas ingin mulai ini benar. Bahwa birokrasi kita perlu ditata kembali dengan menempatkan orang yang selain cerdas tapi juga memiliki integritas moral yang baik,” katanya.
Menurut dia, selama kepemimpinan alm Bupati Yentji Sunur, birokrasi di Lembata syarat dengan kepentingan. “Kemampuan menjadi pertimbangan ke sekian. Mereka punya tanggung jawab dan inisiatif lemah. Hanya menunggu perintah dan apa maunya bupati. Padahal birokrasi adalah wajah depan pemerintahan. Kalau menunggu perintah maka kapan ada inisiatif untuk melakukan sesuatu,” kritik bekas politisi yang pernah merasakan hidup di penjara ini.
Karena itu, sebut dia, Bupati Thomas telah memulai sesuatu yang baik, meski sendirian, tanpa wakil. Padahal ada banyak hal mendesak lain yang harus ditangani, termasuk menata birokrasi yang sudah terlanjur rusak sejak zaman YS.
“Pa Thomas bilang kesulitan mencari orang layak atau memenuhi syarat untuk eselon 2. Karena kapasitas individualnya sangat rapuh. Itu kesulitannya. Waktunya cuma 8 bulan tapi dia memulai sesuatu yang benar. Mudah-mudahan ini awal untuk pembaharuan otonomi Lembata,” kata Ipi Bediona.
Patut Disyukuri
Sementara itu, warga Lembata diaspora di Melbourne, Australia, Dr Justin L. Wejak, mengatakan, seperti tahun-tahun sebelumnya, HUT Otda Lembata ke-22 kali ini tidak perlu, dan tidak penting, dirayakan secara gegap gempita. Apalagi jika perayaan itu cenderung bersifat seremonial belaka. “Mengapa? Karena acap kali yang namanya ‘seremonial’ itu cenderung mengabaikan tujuan dan substansi sebenarnya dari suatu perayaan. Namun demikian itu tidak berarti bahwa HUT Otonomi Lembata ke-22 tidak perlu dirayakan. Justru ia harus dirayakan tetapi sesederhana mungkin dengan lebih menekankan pentingnya makna atau signifikansi dari perayaan tersebut,” kata Peneliti dan Dosen Kajian Asia The University of Melbourne, Australia, kepada mediantt.com melalui pesan WhatsApp.
Sebagai orang beriman asal Lembata di diaspora, Justin merayakan OTDA Lembata hari ini dengan mendoakan ribu ratu Lembata, para pemangku kepentingan (stakeholders), ketiga lembaga negara; eksekutif, legislatif dan yudikatif, agar sungguh-sungguh bekerja demi masyarakat, dan bukan terutama untuk mengejar gengsi dan kekayaan diri.
“Saya mengajak semua pihak untuk mengheningkan cipta sejenak, bukan sekadar untuk mengenang para penjasa atau pahlawan OTDA Lembata sejak tahun 1950-an, melainkan lebih dari itu untuk membuat refleksi jujur tentang sejauh mana cita-cita dan harapan para perintis perjuangan OTDA Lembata itu tergapai,” tegasnya.
Dia melanjutkan lagi, “Refleksi ini penting untuk memastikan bahwa kita tidak melupakan spirit perjuangan tempoe doeloe, sekaligus memotivasi kita untuk bergotong royong, atau ‘ber-taan tou’, meraih cita-cita dan harapan bersama yakni menjadikan Lembata sejahtera dan adil dalam semua lini dan dimensi kehidupan”.
“Maka, bagi saya, HUT OTDA Lembata ke-22 tahun ini sepatutnya dirayakan dengan nada penuh syukur atas perjuangan masa lalu, sekaligus dengan nada harapan akan hari esok Lembata yang lebih ceria,” harap putra Baolangu ini.
Krisis Kejujuran
Jistin Wejak juga menambahkan,
Lembata yang beradat istiadat dan beragama, khususnya selama dua periode kepemimpinan terakhir mengalami “krisis kejujuran” yang sangat parah. Diakui atau tidak, tapi itu fakta buram yang telah menimbulkan kemurungan kolektif dan keterpurukan.
Karena itu, “Di HUT OTDA ke-22 ini, mari kita melihat itu sebagai tantangan sekaligus peluang untuk berbenah. Tantangan dan peluang itu mirip dengan satu ucapan dalam Bahasa Inggris: “There is light at the end of the tunnel” (Ada cahaya di ujung terowongan). Artinya setiap krisis, apapun jenisnya, itu semacam gelap; namun di balik itu atau di ujung sana tentu ada terang atau cahaya yang memberikan harapan,” imbuh Dr Justin. (jdz)