“Reaksi sejumlah kader PDIP NTT terhadap keputusan DPP PDIP itu menjadi bumerang bagi pasangan calon gubernur-wakil gubernur NTT yang telah diputuskan DPP PDIP untuk diusung dalam ajang Pilgub NTT 2018,” katanya kepada Antara di Kupang, Kamis (28/12).
Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang itu menjelaskan, secara psikologis, para kader partai merasa tidak nyaman, dan bahkan mulai frustrasi dalam menghadapi pilkada tahun depan.
“Kondisi psikologis ini sangat berdampak pada kinerja politik untuk memenangkan pasangan calon gubernur-wakil gubernur NTT, Marianus Sae-Emilia Nomleni yang menjadi pilihan DPP PDIP itu,” katanya.
Ia mengatakan, sejumlah kader PDIP seperti Raymundus Fernandes (Ketua DPC PDIP dan Bupati Timor Tengah Utara) memilih keluar dari rahim partai itu sebagai bentuk penolakan terhadap keputusan DPP PDIP yang menetapkan calon gubernur NTT dari luar partai.
DPP PDIP telah menetapkan Marianus Sae-Emilia Nomleni sebagai bakal calon Gubernur-Wagun NTT periode 2018-2023.
Sosok Marianus Sae, Bupati Ngada, merupakan salah satu rifal politik PDIP dalam pilkada serentak 2017 di NTT.
“Ini bumerang bagi PDI Perjuangan sendiri terhadap calon gubernur yang menjadi pilihan idaman DPP PDI Perjuangan. Ini risiko politik yang sangat besar bagi PDIP sendiri,” katanya.
Keputusan DPP PDIP yang menetapkan calon gubernur dari luar partai itulah yang telah memantik reaksi keras dari sejumlah petinggi PDI Perjuangan NTT, yang kemudian melakukan pembangkangan terbuka terhadap partainya.
Bahkan ada kader-kader potensial partai yang selama ini mempersiapkan diri untuk maju dalam Pilgub NTT, seperti Ray Fernandes dan Kristo Blasin memilih hengkang dan bergabung dengan pasangan calon yang diusung Partai NasDem dan Golkar NTT.
“Penetapan Marianus telah memantik pro dan kontra di internal PDIP. Secara psikologis memang para kader partai merasa tidak nyaman bahkan mulai frustrasi dalam menghadapi pilkada 2018,” tegasnya.
Menurut dia, kondisi psikologis ini jangan dibiarkan mengambang terlalu lama yang pada akhirnya memicu para kader partai untuk mengambil jalan mendukung paket yang lain.
“Dalam menghadapi situasi seperti ini, akan memunculkan sikap para kader di tingkat bawah yang tidak mau menerima keputusan DPP PDIP untuk berkerja maksimal,” katanya.
Menurut Atang, ada kader yang menerima keputusan tersebut, namun apatis dan tidak bekerja, dan ada pula yang menolak kemudian melakukan penggembosan dari dalam.
“Kondisi ini yang patut diwaspadai, karena sangat membahayakan pasangan calon yang diusung, karena tidak tertutup kemungkinan kekalahan yang akan datang menyapa induk organisasinya, PDI Perjuangan,” kata Ahmad Atang. (ant/jk)