Pemerintah Disarankan Segera Tetapkan Tanggal Eksekusi

oleh -13 Dilihat

JAKARTA – Rencana eksekusi mati akhirnya mencapai antiklimaks dengan penundaan yang tak jelas dari pemerintah. Hal tersebut bisa menjadi sisi lemah untuk pemerintah Indonesia. Meski pemerintah menolak semua tawaran Australia, publik menilai pemerintah semakin berpihak kepada duo Bali Nine.

Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno L.P. Marsudi menegaskan bahwa pihaknya sudah menolak tawaran Menlu Australia Julie Bishop untuk pertukaran tahanan. Jumat (6/3) dia menjelaskan garis besar pembicaraan yang dilakukan pada Selasa, 3 Maret. Dalam pembicaraan itu, Bishop memang sempat menawarkan pilihan tersebut.

’’Saat itu saya sedang melakukan kunjungan kerja ke Selandia Baru. Menlu Australia menawarkan untuk melakukan pertukaran narapidana Australia yang ada di Indonesia dengan WNI yang ditahan di sana,’’ ujarnya. Narapidana Australia yang dimaksud sudah tentu Myuran Sukumaran dan Andrew Chan yang baru saja dipindahkan ke Nusakambangan pada 4 Maret 2015.

Mendengar pembicaraan itu, dia pun langsung merespons dengan menolak secara halus. Menurut dia, Indonesia memang tidak mempunyai undang-undang atau regulasi yang memungkinkan pertukaran tahanan. Namun, Bishop meminta setidaknya Presiden Jokowi mengetahui tawaran tersebut.

’’Menlu Australia bertanya, apakah permintaan mengenai pertukaran narapidana dapat disampaikan kepada presiden. Sebagai pejabat satu level, tentu saya meneruskan tawaran tersebut kepada presiden. Tawaran itu langsung saya laporkan setelah pembicaraan selesai. Tapi, respons presiden masih sama,’’ ungkapnya.

Hal tersebut didukung Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq. Menurut dia, sikap pemerintah sudah jelas menolak upaya untuk membengkokkan hukum. Karena itu, dia tak ingin bereaksi dengan manuver yang dilakukan pemerintah Indonesia.

’’Memang dibutuhkan adanya kepastian kapan eksekusi akan dilakukan. Sepanjang tidak pasti, pemerintah Australia akan terus melakukan upaya-upaya tersebut. Langkah ini kalau dilihat dari perspektif berbeda memang wajar. Sebuah pemerintah ingin melindungi warga negaranya. Jadi, kalau diperpanjang, Indonesia akan terus tertekan,’’ ungkapnya.

Sementara itu, guru besar hubungan internasional (HI) Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Teuku Rezasyah mengatakan, saat ini pemerintah Indonesia memang sedang tertekan. Sebab, banyak pemberitaan media luar yang lebih berpihak kepada pemerintah Australia. Dampak manuver tersebut, entah sengaja atau tidak, tak bisa dimungkiri.

”Secara diplomatis, Indonesia sudah menang dan tak bisa diganggu gugat oleh Australia. Tapi, saat ini pertarungannya meluas ke perang informasi di media. Kalau pertarungan ini, jelas Indonesia kalah karena jaringan media Australia jauh lebih mendunia,” terangnya.

Dalam pengamatannya, Indonesia saat ini mempunyai citra sebagai negara yang tidak punya rasa humanitas karena berencana mengeksekusi seorang pendeta dan seniman. Mereka melupakan fakta bahwa dua warga negara Australia itu adalah gembong narkoba yang terbukti salah.

”Saat Amrozi dieksekusi mati, mereka mendukung dengan menyatakan bahwa upaya itu adalah penegakan hukum. Tapi, sekarang menolak karena atas dasar kemanusiaan. Padahal, teroris dan narkoba sama-sama membunuh. Bahkan, boleh dibilang di Indonesia sudah terjadi narcoterrorism (terorisme melalui narkoba, Red). Kalau bilang kemanusiaan, bagaimana dasar kemanusiaan kepada korban narkoba sampai sekarang,” ungkapnya.

Karena itu, dia berharap pemerintah lebih terbuka dalam mengeluarkan langkah-langkah diplomatis dengan Australia. Jika tidak, masyarakat Indonesia bisa salah paham terhadap isu-isu yang tersebar di publik. Hal tersebut diakui bisa membuat tekanan terhadap pemerintah jauh lebih kuat baik daripada luar dan dalam negeri.

”Kalau sudah berada di Nusakambangan, berarti eksekusi sudah dekat. Bu Retno pun sudah menyatakan keputusan terakhir. Jadi, mustahil dia menyanggah keputusan presiden dalam sebuah percakapan telepon. Namun, memang ada etika diplomat untuk menyampaikan aspirasi negara lain. Kalau tak diklarifikasi, publik akan memandang pemerintah terpecah,” imbuhnya.

Dia pun mendukung usulan agar pemerintah segera menetapkan tanggal eksekusi dan menepati rencana tersebut. Menurut dia, penundaan eksekusi bakal membuka ruang gerak bagi pemerintah Australia untuk terus bermanuver. Hal tersebut bisa menjadi pukulan berat bagi pemerintah Indonesia.

”Coba pikirkan kalau pemerintah Australia membicarakan langsung ke narapidana Indonesia. Nanti narapidana itu sendiri yang meminta pemerintah menyetujui proposal tersebut. Kalau gagal, bisa saja yang disebut tiga narapidana menjadi 30 narapidana. Yang jelas, dari pengamatan saya sampai sekarang, Australia tak ada tanda menyerah,” jelasnya.

Sementara itu, Bishop mengaku bakal terus melakukan upaya lobi. Menurut dia, pernyataan presiden bahwa eksekusi tidak akan dilakukan pekan ini memberi mereka waktu lagi untuk menekankan isu-isu yang ada. Contohnya, dugaan main mata hakim kasus Myuran dan Andrew yang telah ditujukan ke Komisi Yudisial.

”Kami mencari bukan hanya langkah menunda, tapi selamanya menghindarkan eksekusi. Kami juga menyampaikan keluhan terhadap perlakuan yang diterima dua narapidana di foto pemindahan. Seakan-akan itu adalah publisitas bagi oknum-oknum militer,” jelasnya. (jp/jdz)

 Ket Foto : Pengacara Australia Julian McMahon (kanan) dan Konjen Australia di Bali Majell Hind usai dari Lapas Nusakambangan untuk menjenguk dua terdakwa mati Myuran Sukumaran and Andrew Chan. (Darren Whiteside/Reuters)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *