JAKARTA – Konstitusi mengamanatkan agar anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kemakmuran rakyat harus menjadi tujuan utama dalam penetapan APBN sebab APBN hakikatnya ialah instrumen fiskal yang dipakai negara untuk merealisasikan cita-cita kemerdekaan. Cita-cita yang dimaksud ialah menciptakan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Dalam perspektif itulah, publik hendaknya mengawasi secara ketat pembahasan Rancangan APBN 2018 yang sudah diajukan Presiden Joko Widodo kepada DPR. Pengawasan publik sangat penting karena menyangkut volume RAPBN yang sangat besar, mencapai Rp2.204 triliun. Saking besarnya, nilai dana itu masih lebih banyak jika dibandingkan dengan gabungan anggaran pemerintah Malaysia dan Thailand.
Partisipasi publik untuk ikut mengawasi hanya bisa dilakukan jika pembahasan RAPBN oleh pemerintah dan DPR dilakukan secara transparan. Pembahasan secara transparan sangat penting untuk menghindari penyelundupan kepentingan, misalnya diloloskan penataan kawasan parlemen yang sudah disepakati dalam pembicaraan pendahuluan RAPBN 2018 sebesar Rp5,7 triliun. Penataan itu tidak ada korelasinya dengan kemakmuran rakyat.
Pembahasan RAPBN yang akan memakan waktu sekitar dua bulan ke depan itu mestinya dilakukan secara bertanggung jawab. Disebut bertanggung jawab apabila orientasi anggaran diarahkan guna mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, penciptaan lapangan kerja, pengentasan rakyat dari kemiskinan, dan pengurangan kesenjangan.
Harus tegas dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, pengentasan rakyat dari kemiskinan, dan pengurangan kesenjangan hanya bisa dicapai jika infrastruktur tetap menjadi fokus RAPBN 2018.
Apresiasi patut diberikan karena alokasi pembiayaan infrastruktur dalam RAPBN 2018 sebesar Rp409 triliun. Angka itu tidak terpaut jauh dari anggaran pendidikan yang diperintahkan konstitusi minimal 20% dari APBN atau sebesar Rp440 triliun.
Pembangunan infrastruktur tidak semata-mata bertujuan mengurangi kesenjangan antarwilayah. Lebih dari itu, pembangunan infrastruktur mestinya menjadi lokomotif yang menggerakkan roda perekonomian sampai ke desa-desa dan pada saatnya menjadi pemantik pertumbuhan berkeadilan.
Pertumbuhan berkeadilan tidak semata-mata dibebankan pada APBN. Pemerintah daerah juga perlu diajak untuk mengambil bagian dalam mewujudkan masyarakat makmur berkeadilan. Karena itu, alokasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) mestinya jauh lebih besar dipakai untuk belanja pembangunan daripada belanja pegawai. Jangan pula kepala daerah lebih gemar menimbun uang di bank daripada dibelanjakan untuk infrastruktur.
Jika APBN dan APBD bersinergi untuk belanja pembangunan, niscaya roda perekonomian berdenyut sampai ke pelosok negeri. Swasta juga perlu didorong untuk bersama-sama membangun negeri ini guna mempercepat pertumbuhan berkeadilan.
Perlu ada kemauan politik yang kuat dan tindakan nyata agar APBN dipakai sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pembahasan RAPBN 2018 hendaknya menjadi pintu masuk sekaligus momentum untuk mengubah paradigma anggaran yang selama ini cenderung konsumtif menjadi produktif dengan infrastruktur tetap menjadi prioritas. (miol)