Penanganan Testimoni Freddy Budiman Yang Sesat

oleh -20 Dilihat

JAKARTA – Untuk memerangi narkoba yang kian menggila, katanya penegak hukum membutuhkan kerja sama dan kontribusi dari seluruh anak bangsa. Katanya aparat butuh dukungan. Akan tetapi, ketika ada yang memberikan dukungan, mereka justru menganggapnya sebagai lawan.

Mustahil disangkal, narkoba telah menegaskan diri sebagai salah satu musuh terganas, predator paling kejam yang mengancam masa depan bangsa. Ia termasuk kejahatan luar biasa karena daya rusaknya luar biasa, sepak terjangnya luar biasa, cengkeramannya pun sudah luar biasa. Sekitar 5 juta anak bangsa kini menjadi pecandu. Sekitar 50 orang setiap hari meregang nyawa karena barang laknat itu.

Pada konteks itu, menjadi sebuah keharusan jika seluruh elemen bangsa berpadu melawan narkoba. Amat wajar jika penegak hukum mengharapkan peran serta seluruh rakyat karena mereka memang mustahil bertarung sendirian. Namun, bagaimana mungkin masyarakat mau berperan jika orang yang berkontribusi malah disambut dengan semangat permusuhan?

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar ialah contoh konkret paradoks itu. Oleh TNI, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Polri, Haris dilaporkan ke Bareskrim Polri. Ia dituding mencemarkan nama baik ketiga institusi tersebut karena menulis testimoni gembong narkoba yang sudah dieksekusi mati, Freddy Budiman, soal perilaku busuk aparat.

Testimoni Freddy seperti ditulis Haris memang mengerikan. Ia, misalnya, menyebut menggelontorkan uang total Rp450 miliar ke aparat BNN dan Rp90 miliar ke personel Polri agar bisnis terkutuknya tak diganggu. Ia juga mengaku pernah didampingi jenderal TNI berbintang dua dalam perjalanan darat dari Medan ke Jakarta. Aparat Bea dan Cukai disebut-sebut pula memuluskan penyelundupan ekstasi dari luar negeri yang dilakukannya.

Betul bahwa testimoni Freddy yang ditulis Haris itu sangat dangkal tanpa disertai bukti awal. Tak salah jika ada yang mempersoalkan kenapa Haris baru membeberkannya lewat media sosial menjelang eksekusi Freddy, padahal pengakuan itu didapat dua tahun silam.

Namun, tak salah pula jika publik mempertanyakan kenapa TNI, BNN, dan Polri begitu defensif dan begitu cepat membawa persoalan Haris ke jalur hukum. Haris menyebarkan testimoni Freddy belum genap seminggu, juga belum terlihat ada tindakan serius untuk menindaklanjuti pengakuan itu. Akan tetapi, mereka justru menggebu melaporkan Haris.

Lebih aneh lagi, Kepala BNN Komjen Budi Waseso di depan pewarta mengalirkan ucapan terima kasih kepada Haris, tetapi di hari yang sama BNN melaporkannya ke Bareskrim. Kapolri Jenderal Tito Karnavian pun buru-buru menyimpulkan bahwa pengakuan Freddy yang ditulis Haris terlalu prematur dan sulit dibuktikan kebenarannya.

Pengakuan Freddy memang miskin bukti. Yang bersangkutan juga tak mungkin dimintai keterangan karena sudah dieksekusi. Namun, sedangkal apa pun informasi itu, seminim apa pun bukti yang menyertai, aparat semestinya serius menindaklanjuti. Sangat tidak patut jika resistensi yang justru dikedepankan hanya karena pengakuan Freddy menelanjangi perilaku busuk personel mereka.

Kenapa penjahat narkoba kian hari malah kian mengganas meski beragam upaya telah dilakukan untuk memberantasnya? Salah satunya karena masih banyak aparat yang bertabiat pagar makan tanaman. Aparat yang semestinya memberangus malah ikut berkomplot menyuburkan peredaran narkoba.

Pengakuan Freddy yang ditulis Haris sewajibnya menjadi entry point bagi TNI, Polri, dan BNN untuk membersihkan institusi mereka dari antek-antek bandar narkoba. Tak elok institusi-institusi penegak hukum itu malah berbuat sebaliknya, bersikap intimidatif dengan melaporkan Haris. Kita khawatir pelaporan terhadap Haris ujung-ujungnya menghadirkan ketakutan bagi masyarakat yang hendak berkontribusi memerangi narkoba, terlebih bila kejahatan luar biasa itu melibatkan aparat. (mi/jdz)

Foto : Kordinator Kontras, Haris Azhar