PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) digelar serentak di 101 daerah, Rabu 15 Pebruari 2017, besok. Sebanyak 4,2 juta pemilih akan menggunakan hak pilih untuk mencoblos di bilik suara. Kegembiraan mencoblos sudah sepatutnya dirayakan sebagai pesta demokrasi.
Mencoblos dengan penuh kegembiraan karena para pemilihlah yang menentukan siapa di antara 310 pasangan yang berkontestasi itu layak menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dari jumlah itu, sebanyak 242 pasangan calon maju diusung partai politik dan 68 pasangan calon dari jalur perseorangan.
Penggunaan hak pilih pantas dijalankan penuh sukacita. Itulah hak warga negara yang sepenuhnya dijamin konstitusi. Karena itu, setiap warga yang memenuhi syarat harus dipastikan bisa menggunakan hak pilih.
Mereka menggunakan hak pilih sesuai dengan kehendak bebas tanpa ada paksaan dan iming-iming uang. Jauh lebih penting lagi, dan ini sering dilupakan, pilkada itu mestinya mempersatukan, bukan mencerai-beraikan.
Ia mempersatukan perbedaan-perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan dalam panggung kontestasi politik yang sehat. Karena itulah pilkada juga sebagai sarana mempersatukan masyarakat.
Pilkada disebut memiliki dimensi persatuan karena semua orang yang berbeda latar belakang itu bersatu padu untuk memilih pemimpin daerah. Elite politik, tokoh masyarakat, tokoh agama, ataupun rakyat biasa memiliki hak yang sama. Mereka bersatu dalam tujuan yang sama, yakni mencari pemimpin daerah yang artikulatif.
Harus tegas dikatakan bahwa pilkada bukanlah peretak, melainkan perekat. Lewat pilkada mestinya semua elemen masyarakat bersatu demi mendapatkan pemimpin yang bisa mempersatukan rakyat dan bersama-sama mencari solusi agar masyarakat keluar dari persoalan hidup seperti kemiskinan.
Dalam perspektif yang merekatkan itulah, penyelenggaraan pilkada disebut berhasil tidak hanya diukur dari terpilihnya kepada daerah. Tolok ukur keberhasilan penyelenggaraan pilkada juga dilihat dari semakin kukuhnya sendi-sendi persatuan di dalam masyarakat.
Pilkada mesti memperkuat sendi-sendi demokrasi dan mempererat relasi sosial. Tidak ada gunanya pilkada digelar jika ia memicu berkeping-kepingnya relasi sosial. Tidak ada gunanya pilkada digelar jika ia justru mencerai-beraikan masyarakat. Lebih baik tidak ada pilkada daripada membelah bangsa.
Tugas mulia semua anak bangsa mewujudkan pilkada sebagai pesta demokrasi pada satu sisi, dan pada sisi lain menjadikan pilkada sebagai perekat persatuan bangsa. Pada titik inilah dibutuhkan sinergi berbagai elemen masyarakat.
Kaum intelektual, tokoh agama, tokoh politik, dan tokoh publik hendaknya turun tangan menjaga si-tuasi yang kondusif. Jangan sampai mereka, termasuk otoritas pilkada, menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Tidak kalah pentingnya ialah kebesaran jiwa para pasangan calon yang berkontestasi.
Kemenangan dan kekalahan sebagai keniscayaan dalam pilkada. Hasrat untuk berkuasa mesti dijabarkan secara etis berdasarkan nalar demokrasi, jangan sekali-kali menghalalkan segara cara untuk meraih kekuasaan.
Pengalaman menunjukkan bahwa kerusuhan yang menyertai pilkada selalu dipicu ketidaksiapan pasangan calon untuk kalah. Mereka siap menang, tetapi siap kalah hanya ucapan pemanis bibir. Dalam berbagai kasus terungkap bahwa pasangan yang kalah sering menjadi dalang kerusuhan yang menyertai pilkada.
Marilah menyambut pilkada yang digelar besok dengan penuh sukacita. Bergembiralah dalam mencari pemimpin primus inter pares, yang terbaik dari yang baik. Pilkada itu merekatkan, bukan meretakkan ikatan sosial masyarakat. (miol/jdz)
Foto : Ilustrasi