Petrus Bala Pattyona, SH, MH
Ata Lembata, grup WhatsApp warga diaspora Lembata amat peduli dan serius membahas kasus “dana wartawan” siluman Rp 263.260.000. Grup yang dihuni orang-orang hebat dari berbagai profesi dan disiplin ilmu ini mendesak Polres dan Jaksa di Bumi Ikan Paus itu untuk segera proses hukum kasus ini. Apalagi bukti hukumnya pun sudah jelas. Petrus Bala Patyona pun blak-blakan beberkan bukti hukum keterlibatan wartawan penerima dana ilegal.
PETRUS Bala Pattyona, SH, MH, bukan sembarang orang di jagat Advokad Tanah Air. Berbagai perkara besar telah sukses ditangani hingga masuk jajaran pengacara nasional yang disegani. Suaranya pun didengar ketika dia ‘bersabda’ tentang satu kasus.
Kasus korupsi Awolong yang tertati-tati dan sempat mandek bahkan tak jelas arahnya, meski berbagai tekanan terus dilakukan, tapi di saat Petrus Bala Patyona dan timnya bersuara, polisi dan jaksa mulai ngebut. Apalagi sang master mind bupati alm YS telah tiada. Korupsi Awololong pun tinggal menunggu waktu sidang di Pengadilan Tipikor Kupang, sembari berharap nyanyian para tersangka. Apakah berani tidak membuka aktor lain dari kasus korupsi jumbo di Lembata ini.
Di tengah ekspektasi publik hukum Lembata atas kasus ini, termasuk kasus tanah di Hadakewa dan dugaan korupsi lain, publik lagi-lagi dikejutkan dengan kasus baru; dugaan korupsi yang menyeret sejumlah pekerja media atau wartawan.
Kasus ini terkuak ke publik setelah ada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Tim Audit Inspektorat Lembata yang diserahkan kepada Petrus Hare Kei selaku Pihak Kedua pada tanggal 11 Oktober 2021 dengan Nomor: Inspek.700/29/BAST-LHP/X/2021, seperti dilansir mwartapedianews.online, (19/10).
Berita Acara Penyerahan Laporan Hasil Audit Tujuan Tertentu yang diteken Kepala Inspektorat Lembata Sarabiti Abdullah Fatah menyebutkan, Petrus Hare Kei selaku pihak kedua wajib segera menindaklanjuti semua hasil pemeriksaan paling lambat 60 hari terhitung mulai tanggal 11 Oktober 2021 sampai dengan 11 Desember 2021.
Jika hingga waktu yang ditetapkan yang bersangkutan tidak menindaklanjuti semua hasil pemeriksaan tersebut, yang bersangkutan akan dikenakan sanksi.
Hasil temuan Tim Audit menunjukkan, dana kerjasama media diberikan kepada 11 media melalui PT Ake Tode Media Group. Perusahaan milik Asten Kares itu membawahi delapan media dengan total panjaran Rp 197.000.000 dengan tiga media lainnya di luar PT Ake Tode Media Group Rp. 45.000.000 dengan masing-masing panjaran media sebesar Rp. 15.000.000.
mwartapedianews.online mengutip sebuah sumber menyebutkan, proses pencairan dana sebesar Rp 197.000.000 dan Rp. 45.000.000 itu atas perintah Petrus Hare Kei. Proses pembayaran dilakukan secara bertahap melalui transfer rekening atas nama AK (Asten Kares) selaku pemilik PT Ake Tode Media Group. Selain itu, dana itu dibayar tunai (cash) melalui Petrus Hare Kei.
Nah, dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Tim Audit Inspektorat Lembata itu, pengacara nasional asal Lembata Petrus Bala Pattyona, SH, MH, geram. Dia lantas meminta Kepala Kepolisian Resor (Polres) dan Kepala Kejaksaan Negeri Lembata menyeret Kepala Bagian (Kabag) Protokol dan Komunikasi Pimpinan Sekretariat Daerah Lembata Petrus Here Kei dan para wartawan yang menerima dana secara ilegal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2021.
“Saya meminta Kapolres Lembata dan Kejaksaan Negeri Lembata segera menyeret Kabag Protokol dan Komunikasi Pimpinan Sekretariat Daerah Petrus Here Kei dan para wartawan yang menerima dana secara ilegal ratusan juta rupiah. Kasus korupsi itu jelas sekali merupakan kejahatan yang terang benderang di depan mata sehingga Kapolres maupun Kejari Lembata segera menjemput para pelakunya,” tegas Petrus Bala Pattyona (mediantt.com, Selasa 19/10).
Tak cuma itu, praktisi hukum kelahiran kampung Kluang, Desa Belabaja (Boto), Nagawutun, ini membeberkan lagi bukti hukum yang memudahkan aparat penegak hukum menangani kasus kongkalikong yang merugikan keuangan daerah ini.
“Kasus ini bukti hukumnya sudah jelas. Makanya saya bilang kepolisian atau kejaksaan seret sudah,” tegas Patyona.
Dia mengungkapkan, untuk bukti saksi saksi yang dipersyaratkan KUHAP sudaj terpenuhi. “Ya, BAP saja Bendahara Pengeluaran, akan muncul disposisi pembayaran dan akan dapat juga bukti Surat. Bukti Surat lain itu apa, ya bukti transferan, slip transferan. Tanya juga saksi pihak Bank seperti bagian teler, bagian autorisa penerimaan, rekening penerima. Dari alur aliran dana gampang sekali menemukan saksi-saksi,” terang Patyona.
Selain itu, sebut dia, surat, petunjuk, syukur-syukur barang bukti seperti beli hp, kredit motor, rehab rumah masih bisa ditelusuri. “Apalagi yang diragukan Polisi atau Jaksa? Orang yg sehari-hari menjalankan praktek pidana tak sulit mengumpulkan bukti-bukti; dari keterangan saksi-saksi, surat, petunjuk dan keterangan terlapor,” tandas Patyona.
“Ata Lembata gas sudah. Gonggong terus biar Polisi dan Jaksa tak redam atau main mata atau ATM, apalagi bisa ciduk ATM Group. Atau sesuai namanya Ake Tode Media yg tak tersentuh? Tak tersentuh itu zamannya Yance, sekarang garuk sudah,” tantang Patyona.
Kejahatan Kemanusiaan
Warga Lembata Diaspora di Melbourne yang adalah dosen Kajian Asia di The University of Melbourne, Victoria, Australia, Dr Justin L. Wejak berkata, “Yance sudah mati. Kita berharap, pergerakan kaum perampok ikut mati. Untuk itu suara para pakar dan praktisi hukum asal Lembata perlu terus digaungkan sebagai cara kontrol terhadap kinerja ketiga lembaga negara: eksekutif, legislatif dan yudikatif”.
“Kalau sudah lebih dari 2 alat bukti, angkut sudah tooooo,” tambah Bernard Limalaen Krova.
Sementara pengacara Matias L Ladopurab dalam komentarnya menulis; “Kasus korupsi Awololong sudah selesai (menunggu sidang, red), namun masih ada sisa yang harus kita kejar yaitu pencuri lain yang sempat di BAP, tapi masih ketawa sampai hari ini. Sementara yang satu ini terkait media, saya dukung langkah hukum apapun yang dilakukan di Lembata. Kita tetap bersuara keras mengawal kasus ini agar segera dilakukan upaya hukum. Jangan sampai TOL seperti Yance oooo… hanya teriak di awal dan tenggelam di Watowoko”.
Yeremias Rangan Rianghepat pun dengan kesal menulis kometar di WAG Ata Lembata, “Kabupaten Lembata selalu memberi peluang bagi para ‘penjahat’ berkreasi. Pemberian dana untuk Jurnalis Penjilat adalah salah satu contoh kreasi anak Lembata untuk menghancurkan Lembata. Mengambil uang dengan menabrak aturan dan mengabaikan prosedur sah-sah saja kalau uang itu milik pribadi. Tetapi kalau uang milik rakyat perbuatan ini masuk dalam kategori kejahatan kemanusiaan yang paling keji”.
Kasus ini sedang bergulir dan menjadi diskursus publik, dalam pro dan kontra, termasuk dari kalangan Jurnalis, baik di Lembata maupun di luar. Ada harapan besar agar kasus ini bisa diproses hukum agar menjadi terang. Dan, tidak lagi mencederai profesi wartawan dan juga rakyat Lembata sendiri yang merasa dikhianati. Ah.. Nasib Negeri Kecil Yang Salah Urus… (jdz)