Ketegangan Demokrat dan Gerindra dinilai tak lepas dari sosok SBY dan Prabowo yang memiliki hubungan kurang baik di masa lalu.
HUBUNGAN politik Demokrat dan Gerindra kembali memanas beberapa hari terakhir. Ketegangan ini bermula dari twit Andi Arief, Wasekjen Demokrat yang mengungkap soal kekalahan pasangan calon 02, Prabowo-Sandiaga di Pilpres 2019.
Andi mengklaim berdasarkan survei sebelum Pilpres 2019, cawapres 02, Sandiaga Uno teridentifikasi politik SARA, sehingga sulit menang di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang pemilihnya besar. Namun, saat itu fakta ini tidak dipertimbangkan Prabowo.
Ketegangan ini bukan kali pertama ditunjukkan Andi di media sosial. Saat Prabowo memilih Sandiaga sebagai cawapresnya pada Agustus 2018, misalnya, Andi juga menyebut Prabowo sebagai jenderal kardus. Meski demikian, Demokrat tetap mendukung paslon Prabowo-Sandiaga di Pilpres 2019.
Memiliki Sejarah Panjang
Hubungan politik, termasuk Demokrat dan Gerindra memang fleksibel. Hari ini teman, besok bisa jadi lawan, begitu pun sebaliknya. Namun, siapa sangka satu “jotosan” di masa lalu tidak bisa terobati dalam satu periode kehidupan seseorang. Setidaknya itulah yang terjadi dalam hubungan politik antara Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Hermawan Sulistyo, mantan Ketua Tim Investigasi TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) Kerusuhan Mei 1998 pernah menuturkan soal ketegangan dua tokoh ini. Menurut dia, tak banyak orang bertanya kenapa Prabowo telat lulus pada masa pendidikan militernya.
Dalam sebuah diskusi publik pasca-Pilpres pada 3 Juli 2014 di Jakarta, Hermawan berbicara keras soal Prabowo. “Anda tidak tahu bahwa SBY itu pernah dipukul Prabowo waktu di Akmil, di Akabri waktu itu?” kata Hermawan. “Kenapa tidak ada orang yang bertanya dalam catatan biodata Prabowo, harusnya lulus tahun 1973 kenapa lulusnya tahun 1974? Ini enggak ada orang yang nanya. Katanya Prabowo pintar, kok enggak naik kelas? Berarti ada yang lain, kan? Ya itu tadi, ngebukin SBY, gitu.”
Peristiwa ini lantas berbuntut panjang. Meski sudah dua periode menjadi presiden RI, SBY nampak setengah hati merelakan Prabowo mengikuti jejak politiknya. SBY memang tidak mengadang Prabowo secara terbuka, tapi juga tidak sekuat tenaga mendukung mantan menantu Soeharto itu sebagai capres.
Keengganan SBY ini bahkan sudah terdeteksi sejak Pilpres 2014. “Ketika hubungan individu itu tidak baik, maka itu akan berpengaruh ke depannya,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin saat dihubungi Tirto, Sabtu (8/6/2019).
Pada Pilpres 2014 sebenarnya menjadi kesempatan SBY memperbaiki hubungan dengan Prabowo. Awalnya, SBY bermaksud menghadang Prabowo dengan membentuk poros ketiga bersama Partai Golkar. Namun, Golkar ditarik oleh Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Rajasa. Hasilnya, dukungan kader Demokrat terpecah, yaitu: sebagian memilih mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla, sementara yang lain mendukung pasangan Prabowo-Hatta.
Pada Pilkada DKI 2017, SBY juga punya kesempatan untuk menjalin hubungan baik dengan Prabowo saat putra sulung SBY, Agus Harimurti Yudhoyono gagal di putaran pertama. Saat itu, SBY bisa saja memberikan dukungan kepada Anies Baswedan yang diusung Gerindra dan PKS. Namun, AHY menegaskan Demokrat netral. SBY pun diam saja sehingga tidak ada bantuan masif dari Demokrat di Jakarta.
Sementara pada Pilpres 2019, nama AHY digadang-gadang menjadi cawapres Prabowo. Informasi ini menjadi resmi ketika Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono mengklaim bahwa dia turut menggagalkan AHY maju. Demokrat, hingga detik terakhir memang masih belum menjatuhkan pilihan. Prabowo sampai harus turun tangan langsung bolak-balik ke kediaman SBY.
Disinyalir, Demokrat keberatan dengan terpilihnya Sandiaga Salahuddin Uno sebagai cawapres Prabowo. Meski akhirnya Partai Demokrat tercantum dalam Koalisi Adil Makmur, tetapi ketidakhadiran kader-kader mereka dalam acara Prabowo-Sandiaga menjadi sorotan. Absennya SBY dan AHY dianggap sebagai dukungan setengah hati kepada Prabowo-Sandiaga. Hal ini belakangan diakui politikus Demokrat Andi Arief dalam cuitannya, Jumat (7/6/2019).
“Partai Demokrat, SBY dan AHY ditinggal oleh deklarasi 02 hanya karena bilang jika Pak Prabowo berpasangan dengan Sandi Uno tidak memiliki peluang menang berdasar survey, dan menyarankan Pak Prabowo mencari cawapres lain agar kesempatan menang ada,” demikian twit Andi.
Pilihan Politik Demokrat
Hubungan Demokrat dan Gerindra memang tidak begitu baik sejak masa akhir Pilpres 2019. Di debat pilpres, misalnya, Prabowo sempat menganggap ada kesalahan presiden sebelum Jokowi dalam kebijakan negara. Saat itu, beberapa kader Demokrat melakukan walk out dari acara debat pilpres dan tidak kembali ke ruangan hingga acara selesai. Selain itu, ucapan Prabowo di depan SBY tentang pilihan politik Ani Yudhoyono juga membuat ketua umum Demokrat itu memberikan pernyataan media guna merespons pernyataan capres 02.
Menurut SBY, apa yang disampaikan Prabowo tidaklah elok. Hal tersebut kemudian dikaitkan dengan sikap politik Demokrat yang mulai mendekat ke kubu Jokowi. Apalagi pada momentum lebaran kemarin, AHY dan Edhi Baskoro Yudhoyono bertemu dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Jokowi. “Wajar jika Demokrat berkeinginan gabung ke 01. Petinggi Demokrat harus memikirkan membesarkan partai. Pemilu 2019 kemarin Demokrat disalip oleh banyak partai dalam perolehan suara. Dan jika masih di kubu 02, tentu merugikan Demokrat. Pilihannya hanya dua: bergabung dengan 01 atau berada di tengah-tengah,” kata Ujang. (tirto.id/abd)