KUPANG – Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Abhan mengatakan laporan dugaan praktik politik uang yang dilakukan oknum tertentu dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) dapat dilakukan selambat-lambatnya pada hari pemungutan suara.
“Mulai Pemilu mendatang, dugaan politik uang secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dapat dilaporkan selambat-lambatnya pada saat hari H pemungutan suara,” katanya kepada wartawan di Kupang, Rabu (25/10).
Abhan sendiri berada di Kupang dalam rangka peluncuran Pusat Pengawasan Partisipatif pada Selasa (24/10) untuk mempersiapkan kerja pengawasan berbasis masyarakat menyambut Pilkada di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2018.
Ia mengatakan hal itu terkait perubahan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) Nomor 13 Tahun 2016 mengenai laporan masyarakat terhadap adanya dugaan politik uang dalam Pilkada.
Aturan terkait pelaporan dugaan politik uang tersebut, jelas dia, telah direvisi Bawaslu RI dan tinggal menunggu proses penomoran yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Ia menjelaskan, dalam Perbawaslu sebelumnya praktik politik uang secara TSM dapat dilaporkan selambat-lambatnya 60 hari sebelum hari pemungutan.
Menurutnya, aturan tersebut tidak efektif karena biasanya kejadian politik uang TSM dilakukan pada saat masa tenang Pilkada atau beberapa hari sebelum hari pemungutan yang dikenal dengan istilah serangan fajar dan sebagainya.
“Kalau dibatasi laporan 60 hari sebelum pemungutan maka tidak ada artinya itu sehingga kami revisi, jadi Pilkada mendatang politik uang dapat dilaporkan selambat-lambatnya hari H pemungutan,” katanya.
Selanjuntnya, sambung dia, seandainya ada kejadian (politik uang) pada massa tenang hari H pemungutan masih bisa dilaporkan masyarakat. “Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran politik uang cukup berat berupa diskualifikasi yang diproses Bawaslu di tingkat provinsi,” katanya.
Abhan berharap masyarakat di NTT dapat berpartisipasi aktif melakukan pengawasan Pilkada dengan memberikan laporan terkait adanya dugaan pelanggaran maupun berbagai informasi lainnya.
“Apa yang dilaporkan masyarakat itu tidak selamanya jadi laporan formal, tapi informasi itu sangat berharga bagi kami dan Panwas punya kewajiban menindaklanjuti seluruh informasi dari masyarakat apapun itu,” katanya.
Kampanye Hitam
Di sisi lain, Abhan juga mendorong masyarakat pengguna media sosial menjadi netizen yang berertika untuk mencegah praktik kampanye hitam menyambut pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2018.
“Ini menjadi perhatian penting kami juga untuk mendorong partisipasi masyarakat menjadi netizen yang beretika karena begitu dasyatnya media sosial digunakan untuk kegiatan kampanye,” katanya.
Menurut dia, kampanye hitam di media sosial menjadi tantangan Bawaslu dalam menjalankan tugas pengawasan mengingat maraknya aktivitas kampanye dilakukan melalui media sosial dalam setiap penyelenggaran Pilkada.
Ia mencontohkan, praktik kampanye hitam yang marak dilakukan netizen dalam Pilkada DKI Jakarta pada 2017 menciptakan berbagai sentimen dengan menampilkan isu-isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Menurut Abhan, penggunaan media sosial sangat dasyat sebagai sarana kampanye dan bila ada satu isu SARA kecil saja yang dimainkan dapat melebar ke mana-mana. “Karena itu, hal ini memang menjadi perhatian serius dan bagian dari tugas kami untuk melakukan pencegahan dan juga penindakan,” katanya.
Bawaslu terus melakukan pengawasan bahkan penindakan terhadap praktik kampanye hitam di media sosial dengan berkoordinasi bersama badan siber kepolisian dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Namun, Abhan tetap mengimbau masyarakat pengguna media sosial termasuk di NTT agar bijaksana dan cerdas memanfaatkan media sebagai sarana kampanye sehingga proses demokrasi dalam Pilkada berlangsung dengan penuh integritas dan damai.
Ia menambahkan, hal itu penting mengingat NTT merupakan salah satu provinsi yang akan menyelenggarakan Pilkada serentak yang cukup berat untuk pemilihan gubernur-wakil gubernur serta bupati-wakil bupati di 10 kabupaten pada 2018 mendatang.
“Tentu tidak kita harapkan jangan sampai isu SARA yang ditampilkan di media sosial menimbulkan konflik horisontal di masyarakat yang bisa membias ke mana-mana,” ujar Abhan.
Pengawasan Partisipatif
Selasa (24/10), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), meluncurkan pusat pengawasan partisipatif untuk mendukung kerja pengawasan berbasis masyarakat menyambut Pilkada serentak di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada 2018.
“Tujuan pusat pengawasan partisipatif yang di dalamnya terdapat pojok pengawasan ini untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pilkada,” kata Ketua Bawaslu RI Abhan kepada wartawan di selah acara peluncuran di Kupang, Selasa.
Menurutnya, pada tahun-tahun mendatang Bawaslu dihadapkan pada pelaksanaan Pemilu yang sangat berat, seperti pemilihan serentak gubernur-wakil gubernur serta bupati-wakil bupati di 10 kabupaten se-NTT.
Selanjutnya, kata dia, pada 2019 juga diselenggarakan Pemilu nasional untuk memilih Presiden-Wakil Presiden serta Pemilu Legislatif. “Tentu ini tantangan ke depannya akan sangat berat bagi Bawaslu dalam menjalankan tugas pengawasan,” katanya.
Untuk itu, Bawaslu memiliki program mendorong partisipasi masyarakat agar bisa berperan aktif ikut mengawasi proses demokrasi tersebut.
Ia menargetkan, sebanyak mungkin masyarakat di provinsi berbasis kepulauan itu dapat berpartisipasi melakukan pengawasan bersama Bawaslu dengan indikator berupa pelaporan-pelaporan atau informasi.
“Memang tidak semua apa yang diiformasikan masyadakat itu nantinya menjadi sebuah laporan formal, karena barangkali hanya sekedar informasi. Tetapi informasi itu bagi kami sangat bernilai dan berharga,” katanya.
“Atau barangkali informasi mengenai deteksi dini potensi-potensi kecurangan atau gangguan itu juga sangat dibutuhkan oleh Bawaslu,” katanya menambahkan. (ant)
Foto : Ketua Bawaslu Abhan sedang memberi keterangan pers di Kupang, Selasa (24/10).