Potret A’atonis Budaya Tutur Atoin Meto di TTS

oleh -39 Dilihat

KABUPATEN Timor Tengah Selatan (TTS) termasuk salah satu daerah yang kaya akan aset budaya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Salah satu tradisi budaya yang masih melekat dengan keseharian masyarakat TTS adalah budaya Tutur A’Atoni atau yang lazim di telinga masyarakat dengan sebutan Natoni. Natoni atau A’Atonis, merupakan tradisi budaya tutur yang biasanya dilakukan masyarakat dalam berbagai upacara adat, teristimewa sebagai sapaan pembuka (sapaan salam selamat datang) kepada para tamu atau mereka yang dihargai. Hingga saat ini, tradisi ini masih terpelihara dengan baik di kalangan masyarakat pedesaan bahkan di kota.

Namun, akibat perkembangan zaman, seringkali budaya dinomor-duakan dan menjadi tidak diminati generasi penerus saat ini, karena praktik budaya masih identik dan bersifat tradisional yang secara kontekstual berlawanan dengan model atau hal yang menjadi trend modern. Dampaknya, budaya yang bersifat tradisional mulai tidak diminati kalangan mudah, bahkan mulai ditinggalkan. Hal lain yang ikut mempengaruhi minat generasi sekarang antara lain kurangnya upaya pendidikan tentang kebudayaan yang dilakukan oleh penutur atau tokoh pelaku natoni adat terhadap generasi penerus untuk pelestarian. Maka, pantaslah kita memberikan apresiasi kepada Drs. Hendrik Fobia, penulis buku “Aatonis Budaya Tutur Atoin Meto”, sebagai spirit baru sekaligus upaya cerdas menghilangkan kecemasan akan hilangnya budaya tutur Atoin Meto ini. Buku ini pantas diapresiasi sebagai karya besar di tengah kecemasan akan pudarnya budaya Atoin Meto.

Karena itu, pada akhir Desember 2015 lalu, buku setebal 185 halaman, yang diterbitkan oleh Lembaga Peduli Pemuda Mandiri ini dibedah di SoE, Timor Tengah Selatan (TTS), menghadirkan para tokoh adat dari Molo, Amanatun dan Amanuban, juga tokoh agama, birokrat dan akademisi. Semua bersepakat dalam nada yang sama; mengapresiasi kehadiran karya besar ini di tengah kecemasan akan pudarnya budaya tutur Atoin Meto.

Asisten II Setda TTS, Maksi Oematan, dalam sekapur sirih dalam bedah buku ini menuturkan, buku ini sangat baik. Menurut dia, bangsa yang besar tahu dan menghormati budaya. Sebab budaya selalu berulang dan diyakini bahwa apa yang dilakukan adalah benar adanya sesuai pikiran, perkataan dan dilakukan. “Modernisasai dan teknologi (memang) jadi tantangan, tapi apakah harus kita tingggalkan budaya kita. Harusnya dimasukan dalam industri teknologi. Buku A’Atonis ini karya besar yang perlu mendapat apresasiasi. Ini langkah maju untuk menjawabi kecemasan kaum tua akan orang muda yang semakin terkikis adat tradsisi dan sopan santunya,” tegas Oematan, dan memastikan akan ada kata pengantar dari Bupati TTS untuk buku tersebut.

Ia memberi contoh sederhana, budaya memakai tais ketika memasuki tempat pesta, sudah mulai jarang ditemukan di kalangan muda. Nyaris hilang. “Buku ini menyeimbangkan kemajuan dunia dan budaya yang kita miliki dalam tataran budaya ketimuran. Mari kita dukung dan beri apresiasi kepada Pak Fobia, mantan birokrat, yang punya perhatian besar terhadap budaya daerah. Jadi tolong forum ini memberikan pemikiran agar memperkaya khasanah bacaan budaya sehingga generasi muda dan anak cucu bisa tahu dan mewarisi budaya kita,” kata Oematan, berharap.

Penulis Buku, Drs Hendrik Fobia, dalam paparannya menjelaskan, buku ini ditulis dalam gaya yang santai-sederhana untuk kepentingan anak-anak dan generasi muda. “Buku ini belum sempurna atau lengkap, karena itu forum bedah buku ini mohon dilengkapi dengan sumbangan pemikiran,” harap Fobia, mantan birokrat berpengaruh di TTS dan juga mantan Ketua DPRD TTS ini.

Menurut mantan Ketua DPRD TTS ini, buku ini dilengkapi dengan sejumlah referensi yang berkualitas, termasuk pemikiran dari beberapa pemerhati budaya nasional dan dunia, antara lain, Mader Coukc dari Belanda. “Ini menjadi motivasi sekaligus literature utama dari penulisan buku ini, termasuk dari Seaden, dan Hawai. Mereka sering datang ke rumah, ada yang sudah 10 kali datang. Ini yang menolong saya untuk mendapatkan pikiran tentang budaya Timor lalu menulisnya menjadi buku ini. Saya tidak mau budaya kita ditulis orang barat,” tegas Fobia, seraya menyampaikan terima kasih kepada Pak Don dari Dinas Pariwisata yang tertarik mengemas buku ini menjadi lebih menarik hingga dicetak.

Ia juga menguraikan bagian-bagian dari buku karyanya itu. Bagi penulis yang sudah menulis beberapa buku ini, Aat artinya yang bicara, sedangkan Tonis berarti jawab. “Natoni itu kata kerja. Kata bendanya Aat dan Tonis. Kegiatannya disebut Natonis. Ini penting karena dalam kegiatan apa saja, kita harus melakukan natoni. Tulisan ini supaya orang tahu kalau Aatonis ini orang lain tahu kita punya budaya tutur adat orang Timor, termasuk bagaimana Aatonis sudah memenuhi syarat sebagai adat atau hanya sebagai sebuah kebiasaan,” terang Fobia.

Drs Samuel Nitbani, M.Si, dosen Bahasa Indonesia, FKIP Undana, yang menjadi pembedah buku itu berpendapat, Tonis diperlukan dalam bentuk ungkapan. Aat dipakia untuk dimasukan dalam perspektif. Bukan Moloktonis dan bukan Kuantonis, juga bukan Aat.

“Cara ungkapan gaya orang Timor menghormati orang adalah meninggikan orang lain dan merendahkan diri sendiri. Cara menggunakan ragam bahasa yang tinggi dan yang rendah. Cara yang perlu dikritisi termasuk seluk beluk serta pembinaan dan pengembangan. Pola apa yang dipakai untuk pembinaan dan pengembangan tonis. Misalnya melalui pendidikan formal dan informal. “Bila perlu menjadi salah satu syarat menjadi calon pemimpin di TTS ke depan,” usul Nitbani.

Nitbani juga memberi masukan lebih tajam pada pendalaman dari sisi akademis linguistic dan sistematika penulisan, juga kedalaman ulasan budaya. Bagi dia, pemakaian A’atonis sebagai sebuah kata kerja dan nama Natoni sebagaimana sebutan masyrakat umum sebagai kata sifat. “Saya berharap buku ini mesti lebih disempurnakan ke depannya sehingga bisa dipulblikasi luas ke generasi muda TTS dan para peneliti budayaa nasional dan dunia,” harap Nitbani.

“Aatonis sangat sakral dan masih relevan dengan konteks kekinian, yakni Tonis Lasi, Tonis Pah dan Tonis Ketimahan,” tambah Don da Costa.

Ada juga yang memberi kritik atas buku ini, ada pula yang mengusulkan agar buku ini masuk dalam kurikulum atau muatan lokal. Asisten 2 mengharapkan agar perlu ada Ijin Standar Nasional (ISN). Artinya agar buku ini memenuhi syarat untuk sebuah buku yang bisa dipublikasi secara luas, dan menjadi referensi untuk pendidikan formal dan informal. Dan, terlebih bisa menanamkan nilai-nilai kepada generasi muda. “Peradaban selalu fleksibel,” kata Asietsn 2.

Peserta lain yang ikut bicara memberi pikiran kritis dan cerdas untuk melengkapi buku ini adalah Yan Timo (warga Desa Oekamussa, Yohanes Melu, Tinus Kabur, Samuel Muda, Albert Fay, Nitanel Tanaem, Okto Oematan, Samuel Selam, Boymau, dan Pae Nope.

Dari diskusi yang kritis di forum bedah buku itu, lahirlah sejumlah kesepakatan yang menjadi rekomendasi forum itu. Antara lain, semua pikiran kritis untuk perbaikan akan diperhatikan. Pada saat menggelar Natoni (karena ini menyangkut hargai diri, hargai tamu dan juga budaya, maka harus menggunakan pakaian adat lengkap. Berikut, Dinas Pariwisata diharapkan mau menggandakan buku tersebut. Salah satu yang penting adalah memberi ruang ulasan mendalam pada edisi berikutnya, terhadap tiga sub masyarakat TTS, yakni masyarakat adat Molo, Amanuban dan Amanatun. Sebab, masing-masing ada perbedaan yang signifikan. Sarannya, menerbitkan buku yang ada sebagai cetakan pertama dan perlu ada perbaikan pada cetakan selanjutnya.

Ada ISBN

Fidel Nogor, selaku Editor bersama Drs Don Da Costa, M.Par, menyampaikan apresiasi yang tinggi terhadap penulis buku Drs Hendrik Fobia, para pembedah dan semua peserta yang telah dengan antusias, kritis, tajam dan vulgar memberikan kontribusi pemikiran cerdas untuk kesempurnaan penerbitan buku tersebut.

“Saya memberikan apresiasi buat pa Fobia, pembedah dan semua peserta yang sudah dengan antusias, kritis, tajam dan vulgar untuk sebuah kesempurnaan buku ini. Semua masukan kritis sangat membantu,” kata Owner Majalah Fortuna, sekaligus pegiat budaya, yang konsen terhadap masalah budaya dan pariwisata, termasuk di Kabupaten TTS.

Menurut Fidel, desain cover memang masih sangat terbatas, karena ada naskah yang tidak dilengkapi dengan foto yang mendukung. “Tapi jangan kecewa, akan ada kesemournaan dalam cetakan edisi kedua. Saya sepakat dengan Pa Fobia, kita terbitkan dulu edisi perdana pada Desember 2015 ini karena terbatasnya waktu dan anggaran. Cetakan selanjutnya tahun 2016 ini dilengkapi dengan nomor seri ISBN, dan akan melibatkan para tokoh, termasuk Pa Samuel sebagai editor dari tokoh lintas Swapraja. Kita harapkan Dinas Pariwisata memfasilitasi anggaran untuk cetakan kedua,” begitu harap Fidel, alumni GMNI Cabang Kupang ini. (jdz)

Foto : Para pembedah sedang menyampaikan pikiran dan gagasan untuk kesempurnaan buku ‘A’atonis Budaya Tutur Atoin Meto’.