JAKARTA – Sudah menjadi rahasia umum bahwa perekonomian Indonesia banyak dikuasai oleh jaringan kartel dan mafia. Untuk memberantas jaringan tersebut bukanlah hal yang mudah bahkan bagi pemerintah yang mengusung revolusi mental dan Nawa Cita ini. Lalu apakah yang membuat kartelisasi seakan membudaya?
Professor Ilmu Politik dari Universitas Northwestern, Amerika Serikat, Jeffrey Winters memiliki jawaban yang agak mencengangkan. Dalam sebuah diskusi bertajuk “Oligarki dan Kartel Dalam Partai Politik” di Cikini, Jakarta Pusat, dia menyebut sikap gotong royong dan musyawarah mufakat yang dibanggakan bangsa Indonesia merupakan kata indah dari kartelisasi, atau secara sederhana disebut bagi-bagi kekuasaan.
Penyakit tersebut menjadi efek langsung oligarki politik yang menguasai mayoritas partai politik di Indonesia. “Tujuan oligarki dapat bagi-bagi sumber daya alam. Kartel hanyalah budaya bagi-bagi. Kartel tidak punya idealisasi, semua hanya untuk bagi-bagi,” katanya, Selasa (9/6/2015).
Penulis buku “oligarki” ini mewanti-wanti kalau oligarki politik dan kartelisasi tetap tumbuh subur di Indonesia, dia khawatir 50 tahun lagi bangsa Indonesia hanya akan menjadi negara kuli. Lebih dari sebuah revolusi mental yang digaungkan Presiden Joko Widodo di masa kampanyenya, bangsa Indonesia harus memikirkan gambaran besar tujuan politik di Indonesia.
“Kita perlu memikirkan gambaran besar politik di Indonesia. Secara ekonomi kita selalu disugestikan sebagai negara kaya dengan sumber daya alam berlimpah. Padahal dalam industri kita bukan bagian dari industri produksi yang menghasilkan sesuatu,” ujarnya.
Akademisi yang melakukan studi komparasi antara oligarki yang terjadi di Indonesia dan Amerika Serikat itu menyayangkan spirit produksi itu tidak juga terdapat pada Jokowi. Menurutnya, Jokowi telah kehilangan momen sejarah untuk membawa Indonesia dalam perspektif diri yang baru. Seharusnya dengan popularitas fenomenal yang diciptakannya, Jokowi bisa menciptakan power baru untuk menggerakan masyarakat.
“Tapi insting Jokowi hanya bagaimana bekerjasama dengan power (kekuasaan) yang ada daripada menggunakan power dia sendiri. Banyak negosiasi kekuasaan yang menjadi kontraproduktif dan menyebabkan pendukungnya meninggalkannya,” katanya.
Selagi pemerintahan Jokowi baru berjalan delapan bulan, dia berharap Jokowi menggunakan energinya mau digunakan seperti apa kekuasaan yang dimilikinya. Pemimpin yang baik menurutnya adalah ketika masa jabatannya hampir habis masyarakat tidak berpikir mencari pemimpin lain selain dirinya. (beritasatu.com)