“Ina Ama, Tu Ahu, dalam Kristus…, Mari kita ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana…”
Pastor Roberto membuka kotbah malam Natalnya di kapel St. Aloysius Ledeunu-Raijua. Dua puluh lebih tahun tak ada perayaan Ekaristi Natal bersama pastor di pulau itu. Kerinduan merayakan Natal bersama pastor hanya tinggal kerinduan. Dan malam ini setidaknya menjadi jawaban bagi dahaga rohani itu. Kehadiran Pastor Roberto dan kedua frater misionaris; fr. Jef dan fr. Man, serta Suster Susi, Misionaris Penyelenggaraan Ilahi yang penuh semangat, memberi warna baru bagi keseharian hidup beriman orang-orang Raijua. Perkumpulan mereka ibarat komunitas jemaat perdana, saling berkunjung, kadang berkumpul bersama di bawah pohon rindang, entah untuk sebuah pekerjaan gerejani, maupun sebuah aksi amal kasih bagi sesama yang dihimpit susah. Tempat perkumpulan mereka dikenal dengan sebutan Era Pekupu Dau Domanno Padeo, tempat berkumpulnya orang-orang yang percaya kepada Deo (Tuhan). Kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, saling memberi dan menerima, bersatu di dalam pekerjaan, itulah dinamika yang membuat mereka kokoh kuat di tengah tantangan hidup. Kebersamaan itu terpatri sejak iman katolik menyinggahi pulau ini.
Tepat pukul 11.00 Wita, perahu motor Asmara Lumba-lumba 03 lepas tali dari dermaga Seba menuju Raijua. Dari jauh memandang punggung pulau yang penuh pesona. Biru laut yang jernih dengan deretan nyiur yang melambai diterpa angin musim ini, menambah kecantikan pulau berpasir putih itu. Di dermaga Raijua, tepat pukul 13.00, kupijakkan kakiku untuk pertama kalinya. Di rumah mama Laenda, kami basa-basi seputar keganasan selat antara Seba dan Raijua, sambil menikmati kopi panas dan air gula Sabu kental. Keluarga pak Tomy turut menjemput rombongan kami. Ia punya banyak cerita tentang Raijua dan kehidupan Gereja Katolik di wilayah ini.
“Dari dulu tidak pernah ada pastor yang merayakan Natal bersama umat di wilayah Raijua ini. Alasan utamanya karena gelombang laut yang tidak bersahabat pada musim-musim seperti ini. Bahkan pastor Lackhner sendiri pernah tenggelam di selat itu. Jadi kami sangat bersyukur rombongan Pater kali ini bisa mengunjungi kami pada Natal tahun ini,” Pak Tomy berkisah.
Pak Tomy punya banyak cerita hidup yang menantang tapi menarik. Ia putra Flores asli Solor, menikahi gadis cantik dari Bajawa, mengabdi sebagai pahlawan tanpa tanda jasa di pulau ini sejak sebelum dua putri mereka; Arch Angel dan Virgin, lahir, hingga saat ini.
“Saya menikah dengan ibu di bawah pohon tuak. Waktu itu, gedung Gereja belum ada. Kita sembayang dari rumah ke rumah, kadang di bawah pohon rindang atau di tepi pantai. Lama kelamaan, sebagai jemaat kecil waktu itu, kami bertekad membangun sebuah pondok kecil, tempat kami bisa berdoa sekurang-kurangnya setiap hari Minggu. Kendala pertama yang muncul adalah dana. Namun karena kerjasama umat kecil yang luar biasa, kami bermodalkan kebersamaan, dibantu beberapa donatur, kami bangun kapela yang sekarang sedikit bagus, tempat kita akan merayakan natal nanti malam. Gereja itu selesai dibangun secara gotong royong pada 2008 silam…”.
Kisah tentang Raijua rupanya butuh waktu lama untuk menceritakannya. Pada sore menjelang malam itu, kami berangkat bersama-sama ke tempat mancing pak Tomy dan kawan-kawannya. Di atas batu besar di bawah pohon-pohon tuak yang berjejer sepanjang tepi patai itu, kami duduk memasang umpan pada kail dan membuangnya sambil bercerita tentang Raijua. Setengah malam yang panjang itu, kami habiskan di tepi pantai itu dengan menikmati ikan segar bakar hasil tangkapan kami sendiri.
***
Lonceng Gereja berdentang enam kali, memanggil jemaat Ledeunu – Raijua untuk segera berkumpul. Sore itu, kanak-kanak Yesus diarak ke Kandang Natal. Pasca maklumat Natal, lagu-lagu Natal dari Buku Madah Bakti berkumandang memecah kesunyian malam kudus itu.
“Slamat Natal ka eF eR..,” Seseorang menyodorkan tangan, menyapaku begitu lembut dan ramah.
“Ah, slamat Natal juga Ina.., namamu siapa?
“Maria Haryanti eF eR, biasa dipanggil Ina…”
Itulah ucapan Natal pertama dari putri cantik asli Raijua, usai Perayaan Misa. Namanya Ina. Sebenarnya Ina adalah sapaan khas orang Sabu untuk semua kaum wanita, dan biasanya diletakkan di depan nama mereka. Kami basa-basi sebentar seputar sekolah dan relasi cintanya dengan seorang pemuda muslim yang kini tinggal kenangan. Belum usai cerita-cerita itu, aku harus meninggalkan tempat itu karena malam itu juga kami harus menempuh belasan kilometer perjalanan ke arah matahari terbenam. Di balik bukit itu ada Kapela St. Petrus Kehale, dengan jumlah umat yang lebih banyak dari Kapela Ledeunu. Perayaan malam Natal yang kedua kalinya di kapela itu kami mulai pukul 21.30 wita.
Usai Perayaan malam itu, aku belum cepat tidur. Hatiku serasa terbang melayang-layang di sekeliling pulau asing ini. Tentang keadaan umat di tempat ini. Tentang teriknya matahari yang terasa begitu dekat dengan bumi Raijua. Tentang domba dan babi-babi montok yang berkeliaran bebas merdeka. Tentang rawannya relasi cinta terlarang di kalangan orang-orang muda di tempat ini. Tentang rumput-rumput laut yang tumbuh hijau seperti rumput liar di padang. Tentang anak tetangga yang selalu menatapku tiap pagi dan petang waktu menyeduh kopi panas di beranda rumah Mama Laenda. Dan tentang getaran tanganku ketika umpan di mata kailku disambar kakap merah besar.
Tak terasa malam yang panjang itu berlalu. Aku mengecek tangki Win tua, sudah penuh bensin. Usai berbasuh, aku memacunya menuju Kapel, merayakan misa Natal 25 Desember di kapel itu, lalu ke kapel yang satunya. Usai Perayaan itu, rombongan kami menuju kampung Menanga. Di sana ada hamparan biru laut yang masih perawan ditumbuhi rumput-rumput laut yang hijau. Perahu-perahu nelayan tertambat begitu rapih. Di bawah nyiur kelapa-kelapa itu, kami membentang tikar, menikmati kelapa muda campur gula Sabu, dan bercerita tentang sumber air, tentang laut dengan segala pesonanya, dan tentang klaim tanah yang hampir berujung konflik saudara dan suku.
“Di sini, usaha utama kami adalah tanam agar-agar..”
“Berapa lama agar-agar itu dibiarkan hingga panen??”
“Kalau musim baik, tiga atau empat Minggu sudah bisa dipanen…”
“Musim baik itu maksudnya waktu laut tenang, atau??”
“Tidak juga. Karena kalau laut terlalu tenang rumput laut tidak akan tumbuh dengan baik, kalau laut terlalu bergelombang juga tidak akan jadi..”
“Oh begitu, jadi lautnya harus pas-pas..”
“Ya, seperti yang sekarang ini..”
“Nah, terus setelah dipanen, apa proses selanjutnya??”
“Setelah diangkat, agar-agar itu dijemur hingga kering betul. Setelah itu dikumpulkan dan ditimbang.”
“Oh, timbangnya di Kupang, atau??”
“Timbangnya langsung di pelabuhan Raijua, karena ada kapal yang selalu datang untuk menimbang hasil usaha rumput laut masyarakat di sini…”
“Wah, luar biasa dong, berarti Bapa mereka uang banyak dong kalau musim panen…”
“Hahaha, lumayan untuk membeli keperluan rumah tangga eF eR…”
Bai Mateus, begitu bersemangat bercerita tentang usaha rumput laut. Aku mendengarnya dengan saksama sambil mengunya sirih pinang. Mama-mama melihatku dan tersenyum, lalu berbisik dalam bahasa daerah. Seorang anak muda menerjemahkan untukku. “Mama-mama heran, kok eF eR bisa makan sirih pinang juga”. Dan kami tertawa bersama-sama ketika bibirku mulai merah menyala oleh siri pinang.
Aku beranjak ke tepi laut. Memanggil anak-anak kecil yang sedang mendayung perahu kecil. Mereka dengan gembira menjemputku dan membawaku ke tengah laut.
***
“Bagaimana eF eR?”
Pastor Roberto menyapaku usai menghabiskan dua buah kelapa muda campur gula Sabu. Fr. Je dan Suster asyik melihat dokumentasi perjalanan kami di kamera Panasonic DMC-FP7 milik Suster Susi. Kami beranjak dari sana ketika matahari makin condong ke barat. Dari Menanga kami menuju Mercusuar di Kolouju. Di sana kami memancing, menikmati ikan bakar, sambil memandang pulau Dana dari ujung Mercusuar. Setelah puas dengan pesona pantai Selatan Raijua itu, kami kembali ke Namo ketika matahari hendak terbenam, beranjak ke peraduan. Bersiap untuk petualangan berikutnya besok pagi ke Gua Maria Male Mangngi-Biti- Ledeunu, dan ke kampung B, terus ke perkebunan utama rumput laut di Menangawara, merayakan Ekaristi bersama keluarga Bapa Dewi dan masyarakat petani rumput laut di desa itu. Ingin kuhabiskan seluruh waktuku di pulau tercinta ini. Namun, aku harus kembali menambah bekalku untuk misi yang lebih besar, entah ke Raijua ini, atau ke Rai-rai yang lain. Slamat tinggal Rai-jua, tanah yang telah membuatku mengerti arti sebuah kehidupan.
Oleh: Herman J. Bataona
Misionaris Claretian, tinggal di Matani.
SHM Matani, Kupang, Januari 2015