Ritual Pati Ka, Tradisi “Memberi Makan Minum” Arwah Leluhur di Danau Kelimutu

oleh -27 Dilihat

Para Mosalaki sedang melakukan Ritual Pati Ka di Danau Kelimutu.

ENDE – Sejak beberapa bulan terakhir, air salah satu kawah di Danau Tiga Warna Kelimutu yakni Tiwu Atambupu menyusut. Untuk itu, Komunitas Adat Penyangga Danau Kelimutu yang terdiri dari 21 mosalaki atau tetua adat menggelar ritual Pati Ka di puncak pada Sabtu (31/7/2021).

Harapannya, dengan diselenggarakannya ritual Pati Ka, kondisi air di kawah Tiwu Atambupu kembali normal.

Pati Ka adalah ritual memberi makan dan minum kepada lelhur di Danau Kelimutu. Selain meminta kepada leluhur agar air danau kembali normal, menurut Ketua Forum Komunitas Adat Kelimutu Yohanes Don Bosco Watu, ritual Pati Ka juga dilakukan agar Kabupaten Ende dijauhkan dari wabah penyakit.

Dikutip dari kemdikbud.go.id, ritual Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata atau yang lebih di kenal dengan ritual Pati Ka di selenggarakan oleh Suku Lio.

Ritual Pati Ka adalah pemberian sesajen kepada leluhur di Danau Kelimutu. Hal ini dilakukan karena Suku Lio mempercayai Danau Kelimutu adalah tempat peristirahatan terakhir jiwa-jiwa yang telah pergi.

Suku Lio percaya bahwa Danau Kelimutu adalah tempat peristirahatan terakhir kehidupan. Tempat semua jiwa kembali setelah perjalanan hidup berakhir.

Upacara ini dilakukan dengan cara menyajikan makanan khusus setelah panen kepada arwah leluhur yang konon menghuni tiga danau yakni Tiwu Ata Mbupu, Tiwu Nua Muri Koo Fai dan Tiwu Ata Polo.

Ritual tersebut sebagai bentuk komunikasi dan penjagaan relasi dengan leluhur, alam semesta dan kekuatan Yang kuasa. Masyarakat percaya bahwa jiwa atau arwah akan datang ke Danau Kelimutu setelah ia meninggal dan tinggal di kawah itu untuk selamanya.

Semua peserta ritual akan berjalan kaki diiringi musik tradisional I Lio Ende menuju puncak Kelimutu dan menempuh rute sejauh 700 meter.

Kaum pria akan mengenakan kain sarung khusus hasil tenunan untuk lelaki (Luka) dan mengenakan destar dan berbahan batik (Lesu), serta tenun ikat (Semba) atau selendang. Sedangkan kaum perempuan memakai kain sarung tenun ikat (Lawo) dan baju adat (Lambu).

Puncak ritual tersebut dipimpin Mosalaku Pu’u dan diawali dengan memberi makan kepada leluhur di tempat khusus. Sesajen tersebut terdiri dari daging babi, nasi beras merah, sirih pinang, dan moke.

Mosalaki Pu’u meletakkan sesajen di atas batu yang menjadi mesbah atau altar sesajian. “Prosesi Pati Ka diawali dengan pembacaan doa bersama oleh para mosalaki (tetua adat). Doa dipanjatkan untuk meminta Tuhan dan leluhur memberkati makanan dan minuman yang akan dipersembahkan untuk para leluhur,” jelas Yohanes kepada Kompas.com, Rabu (4/8/2021).

“Makanan itu diletakkan di atas piring saji. Makanan berupa nasi beras merah dengan lauk pusu ate babi (hati dan jantung babi) serta minumannya ada air putih, kopi,” tambah Yohanes.

Menurutnya,masing-masing mosalaki akan membawa satu piring saji yang berisi makanan untuk para leluhur.

Ritual diiringi dengan pengucapan do’a oleh seorang perwakilan Mosalaki dan diakhiri dengan tarian Gawi Sodha oleh para Mosalaki Pu’u. “Para mosalaki langsung memulai ritual dengan memanjatkan doa untuk para leluhur. Setelah itu, barulah mereka ‘memberi makan’ roh para leluhur dengan meletakkan nasi beras merah dengan lauk daging babi di atas batu arwah,” katanya.

Mereka menari sambil mengelilingi lokasi altar sesajian. Setelah prosesi selesai, biasanya upacara dilanjutkan dengan tari-tarian tradisional dan nyanyian dari sanggar seni yang ada di lingkungan masyarakat Lio Ende. (kompas.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *