JAKARTA – Romo Franz Magnis-Suseno SJ mendapat penghargaan Matteo Ricci Award atas perannya dalam memajukan dialog antarumat beragama di Indonesia. Penghargaan itu yang diberikan oleh Universitas Sacro Cuore ia terima di Milan pada Senin, 21 November lalu.
Matteo Ricci Award adalah penghargaan yang terinspirasi oleh jasa Pastor Matteo Ricci (1552-1610), seorang misionaris sekaligus ilmuwan matematika dan astronomi Katolik dari Italia serta dikenal sebagai sosok yang berkomitmen memperjuangkan perdamaian.
Menurut Rektor Universitas Sacro Cuore, Franco Anelli, Romo Magnis adalah tokoh dengan kontribusi besar bagi dialog antarkeyakinan, baik dalam bidang sains dan akademik maupun diskusi publik.
Ia juga dinilai telah berdedikasi tanpa lelah dalam advokasi terhadap toleransi beragama di Indonesia, negara yang diakui mampu mengelola perbedaan dan pluralisme dalam masyarakatnya, dimana Pancasila hadir sebagai falsafah dasar bangsa.
Romo Magnis dikenal sebagai Profesor Emeritus di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, di mana ia pernah menjadi rektor di kampus itu pada 1988-1998.
Imam ini lahir di Jerman dan datang ke Indonesia tahun 1961. Tahun 1977, ia mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Hingga kini ia menulis 39 buku dan 600 artikel, dengan fokus pada tema-tema etika, filsafat politik dan filsafat ketuhanan.
Ia aktif terlibat dalam dialog antaragama dan seringkali menjadi anggota delegasi resmi pemerintah Indonesia dalam acara dialog di negara lain.
Menanggapi penghargaan itu, Romo Magnis mengatakan kepada ucanew.com, ini menjadi kekuatan untuk tetap berkomitmen memberi kontribusi bagi Indonesia di usianya yang kini sudah 80 tahun.
Keterlibatannya dalam urusan dialog dengan agama lain dan perjuangan terhadap sejumlah persoalan kemanusiaan, ia anggap sebagai implementasi tugasnya sebagai imam, yang adalah saksi Injil Yesus Kristus yang membebaskan dan menyembuhkan.”
“Kesadaran bahwa setiap orang dikaruniai oleh Tuhan suatu martabat luhur – yang dihormati dengan dihormatinya hak-haknya sebagai manusia dan khususnya haknya untuk beriman sesuai dengan perintah suara hatinya, termasuk hakekat warta gembira Injil,” katanya.
Ia juga menyatakan keperihatinan terkait situasi terkini di Indonesia, di mana masih ada aksi-aksi kekerasan atas nama agama hingga dalam bentuk serangan bom.
Ia mengatakan hal itu terjadi karena kesediaan untuk menghormati identitas masing-masing warga negara, yang adalah inti konsensus Pancasila – masih kurang.
“Masing-masing orang mau memaksakan kehendak. Itu sebenarnya suatu penghujatan karena hanya Allah yang mampu dan berhak menghakimi hati seseorang,” katanya.
Ia menjelaskan, dirinya menginginkan kondisi Indonesia yang mewujudkan cita-cita Pancasila, di mana setiap orang saling menghormati identitas masing-masing, menolak kekerasan dan bersedia bersama-bersama membangun kehidupan bangsa, dengan mewujudkan demokrasi dan solidaritas seluruh rakyat.
Achmad Nurcholish, seorang intelektual Muslim mengatakan, Romo Magnis sangat layak mendapatkan penghargaan tersebut. “Kiprahnya bagi kemanusiaan memamg sangat nyata, terutama melalui tulisan-tulisannya yang memperkaya perspektif,” katanya.
“Dalam isu-isu kontemporer, ia juga kerap melontarkan kritik sosial, khususnya terkait radikalisasi agama dan intoleransi,” katanya.
Menurut Nurcholish, Magnis hendak mengembalikan fungsi agama sebagai sumber nilai luhur yang membuat penganutnya bisa selalu mengasihi sesama, tanpa melihat latar belakang suku maupun agama. “Hidupnya juga sangat sederhana, rendah hati dan selalu terbuka bagi siapa saja,” katanya.
Sementara itu, Pendeta Palti Panjaitan, ketua Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (Sobat KBB) menyebut Romo Magnis sebagai sosok yang melampaui sekat-sekat identitas.
“Ia tidak berpikir dan bertindak sektarian. Ia sosok yang sudah diterima semua orang karena ia berjuang untuk kepentingan semua,” katanya. Ia juga menyebutnya sebagai “filsuf yang kritis dan memberi pencerahan.” (ucanews.com)
Foto : Romo Frans Magis-Suseno.