Sang Pelukis Dari Lamalera: Setiap Potongan Sketsa adalah ‘Tempus Dei’

oleh -25 Dilihat

(Mengenang Rafael Miku Beding; Pelukis Mural Gereja Watuneso)

Oleh: Marlin Bato

TIDAKLAH berlebihan menyebut Rafael Miku Beding sebagai pelukis senior di zamannya. Perjalanan kariernya bermula dari kampung Lamalera, Kabupaten Lembata, di ujung paling timur Pulau Flores. Bertahun-tahun, ia melakoni pekerjaan melukis sekaligus pematung, lalu dipercaya menjadi pelukis candi dan interior gereja Watuneso, Ende. Namanya hampir tenggelam oleh jaman. Tak begitu terkenal layaknya perupa-perupa dari belahan dunia barat. Nama-nama seperti Vincent Van Gogh, Pablo Picasso, Leonardo da Vinci, Michaelangelo Buonarroti, Salvador Dali, Rafaello Sanzio dan lain-lain sangat masyur di jamannya.

Namun tidak dengan Rafael Miku Beding. Dia adalah seniman yang menyusuri jalan hening. Belantara yang ditempuh tidak ketahui orang. Namun bakatnya yang terpendam itu justru memantik daya tarik tersendiri. Karya-karya thematik memberi pesan magis.

Usianya masih sangat muda saat sekitar tahun 1953 pater Visser memboyongnya dari kampung kecil Lamalera menuju Watuneso sebuah paroki yang baru saja berdiri. Di Watuneso ia diberi kehidupan yang mapan. Pemuda tampan itu dipekerjakan sebagai pelukis untuk interior gereja yang pada saat itu baru mulai dibangun yang menelan dana sekitar DM. 10.000 (Deutsche Mark).

Pekerjaan itu ia lakoni dengan penuh komitmen. Sepanjang perjalanan kariernya, karya-karyanya selalu dikagumi yang akhirnya menjadi legenda dikemudian hari.

Akan tetapi justru ketika karyanya mulai menjadi lengenda, namanya makin meredup dan tak mampu mengikuti jejak karyanya sendiri. Sebab kebanyakan penikmat seni justru mengidola hasil karya ketimbang pelaku seninya sendiri.

Yah… memang begitulah pekerjaan kaum pelukis mural, suatu profesi yang terhitung jarang terekspos ke publik. Padahal di kalangan pekerja seni, kaum pelukis kerap disebut sebagai ‘sutradara kedua’, mengingat tanggungjawab mereka mengolah sapuan kuas dan kanvas menjadi potongan gambar utuh yang layak dinikmati.

Belakangan ini, karya-karya seni Rafael Beding terancam mati akibat lapuk termakan usia, seiring usia gereja yang semakin hari beranjak senja. Jam gadang di candi gereja pun telah lama tidur terlena. Detak jantungnya sudah tak lagi bergerak. Atapnya sudah bocor dan balok-baloknya sudah rapuh dan patah. demikian pula, pemugaran gambar-gambar lukisan Rafael Beding pun tak mudah, karena memang butuh keahlian (skill) khusus.

Warna gambar sudah memudar, dan tembok pun sudah mulai retak akibat gempa. Padahal seluruh lukisan dinding karya Rafael Beding tersebut mengambil kisah perjalanan Yesus, juga mengangkat tema-tema pengadilan akhir jaman serta kebangkitan.

Salah satu lukisan yang paling rumit adalah gambar pengadilan akhirat di bagian sekitar altar gereja. Lukisan mural ini mempunyai kekuatan spiritual yang sangat tinggi. Nilai simbolisme abadi yang nampak di gambar tersebut menanamkan perasaan takut kita kepada Tuhan. Baik para rohaniwan maupun masyarakat awam yang melihat. Mural pengadilan terakhir hari kiamat itu membuat siapapun yang melihat mengalami pergolakan batin, sebab disana ada ratusan sosok manusia laki-laki maupun perempuan sedang menanti pengadilan Tuhan di hari kiamat.

Di bagian yang lain dinding, terlihat gambar Yesus yang penuh dengan keagungan, diarak orang-orag suci dan malaikat yang turun dari surga. Orang-orang yang telah ditebus dosanya dan orang terkutuk dalam gambar itu menampakkan kengerian menghadapi pengadilan Tuhan.

Sementara di bagian paling tinggi sebelah kanan dari lukisan itu, ada sebuah mural menampakkan satu malaikat membawa buku besar bertuliskan; Apa Yang Kau Buat Kepada Sesamamu, Kau Buat Kepada-Ku”. Lalu dibagian bawah gambar ini, nampak dua malaikat meniup sangkakala mengabarkan kedatangan hari kiamat. Sementara dibawahnya lagi, ada sebuah gambar malaikat sedang membimbing seorang perempuan dengan latar ratusan manusia yang bangkit dari kuburnya, diiringi deburan gelombang pasang yang memukul di bebatuan. Gambar ini menambah suasana kengerian hari kiamat.

Dibagian paling tinggi sebelah kiri, ada gambar malaikat sedang membawa neraca menggambarkan pengadilan terakhir dari Tuhan Yang Maha Adil. Lalu dibawahnya ada malaikat meniup sangkakala dan beberapa malaikat membawa pedang terhunus yang bernyala api dengan garang menjebloskan orang-orang berdosa kedalam neraka. Kemudian dibawahnya lagi, nampak gambar gua neraka dengan seekor naga raksasa siap menelan mangsanya dari orang-orang berdosa dan terkutuk. Lukisan karya Rafael Beding ini saling sinkronis antara satu dengan yang lain. Lukisan tersebut menyampaikan peringatan kepada kita bahwa satu-satunya salan menuju pangkuan Tuhan adalah lewat Gereja Katholik.

Sayangnya lukisan-lukisan ini terancam hilang. Kita mungkin hanya bisa pasrah, terpaku sekaligus haru memandang mural-mural yang syarat pesan spiritual. Sedangkan di era sekarang, kita mungkin sulit menemukan seniman pelukis yang sangat berkarakter dan kaya imajinasi.

“Sekiranya ia menjadi seorang penyapu sampah, ia harus menyapu sama seperti Michaelangelo melukis, atau Beethoven memainkan musiknya atau Shakespeare menulis puisinya. Dia harus melakukan dengan baik, sehingga semua yang berada di surga dan bumi akan berhenti sejenak dan berkata; Disinilah tempat para penyapu sampah yang telah melakukan kerjanya dengan sangat baik sekali”.

Sekian dan Terimakasih
Tolle Et Lege – Ambil dan Bacalah!