Oleh : Padre Marco SVD
SEMUA orang Indonsia pasti kenal Pak Jusuf Kalla (JK). Beliau seorang Pengusaha sukses dan Politikus bangsa kita. Dua kali menjadi Wakil Presiden. Mula-mula jadi Wapres ke-10 mendampingi Presiden SBY (2004-2009) lalu sebagai Wapres ke-12 pada Presiden Jokowi (2014-2019).
Sebagai WNI, sekalipun sudah lama berdomosili di Eropa, saya juga mengenal beliau dan segala perkembangan karir politiknya. Paling kurang lewat media.
Tidak pernah terbayang kalau hari ini saya bertemu Pak JK di Vatikan dan menghabiskan satu jam bersama beliau. Beliau datang untuk bertemu Paus Fransiskus atas undangan Komisi Tinggi Dokumen Abu Dhabi „Persaudaraan Insani“ (Human Fraternity) yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar al-Azhar, Dr. Ahmad al-Tayyib di Abu Dhabi tanggal 4 Pebruari 2019 tahun lalu itu.
Pasalnya, Pak JK dipilih oleh Komisi Tinggi di atas untuk menjadi salah satu anggota Dewan Yuri untuk menominasi penerima Zayed Award dari Dokumen Abu Dhabi di atas yang akan diserahkan pada Hari Ulang Tahun ke-3 dari Dokumen tersebut pada 4 Pebruari 2021 mendatang. Team Yuri internasional yang terdiri dari 6 orang itu diterima Paus Fransiskus tadi pagi, 23 Oktober 2020, di Istana Kepausan Vatikan. Pertemuan mereka berlangsung selama satu jam. Artinya satu jam lamanya Pak JK berada sangat dekat dengan Paus Fransiskus. Apalagi jumlah mereka hanya enam orang. Sangat spesial.
Beberapa hari lalu saya dikontak oleh KBRI untuk Tahta Suci Vatikan untuk menerima dan menemani Pak JK masuk Taman Borobudur dan Kapel Sixtin di Museum Vatikan setelah pertemuan dengan Paus. Kantor saya juga sangat mendukung karena kehadiran Pak JK di Vatikan adalah bagian penting dari upaya membumikan Dokumen Abu Dhabi yang juga merupakan salah satu tugas Dewan Kepausan untuk Dialog antar Umat Beragama, tempat saya bekerja. Apalagi Ketua Komisi Tinggi Dokumen Abu Dhabi dari pihak Katolik adalah Kardinal Petinggi Kantor saya.
Sekitar setengah jam sebelum Pak JK dan rombongan datang, saya sudah menanti di Pintu belakang Quattro Cancelli yang berhadapan dengan Taman Vatikan, Basilika Santo Petrus dan Istana Kepausan. Sekitar pkl. 11.45 pagi rombongan yang didampingi oleh Ibu Lina bersama Staff KBRI untuk Tahta Suci Vatikan dan pak Danang bersama Staff KBRI untuk Italia, tiba di Quattro Cancelli. Ibu Lina memperkenalkan saya kepada Pak JK. Serta merta Pak JK menyalami saya: Selamat bertemu Romo Markus. Saya kembali menyalami beliau sambil menyebut namanya. Kami semua hanya bisa senyum ria dari balik masker dan bersalaman ala kadarnya, tetapi tidak mengurangi rasa gembira kami sebagai orang Indonesia.
Kesan pertama saya, Pak JK orangnya sangat ramah, terbuka, komunikatip dan mudah bersahabat. Jadi cepat sekali akrab, seperti sudah pernah bertemu berkali-kali. Apalagi kami sama-sama berasal dari Timur Nusantara. Tidak juga dekat sekali, karena Sulawesi dan Flores jauh. Paling kurang logat bicara kami sama-sama kental ketimuran. Itu sudah sesuatu yang mendekatkan kami secara linguistik. Logat bahasa bisa powerful.
Lantas saya jelaskan kepada Pak JK bahwa ada aturan ukur suhu tubuh sebelum pergi lebih jauh dari situ.
Sebenarnya saya sudah klarifikasi hal ini dengan petugas penjaga pintu Quattro Cancelli sebelum kedatangan Pak JK. Tapi ini aturan Vatikan untuk setiap pengunjung tanpa kekecualian. Jadi Pak JK juga harus buat. Ketika menjelaskan ini kepada Pak JK, beliau serta merta mengatakan: Tidak apa-apa Romo. Tadi saya juga sudah ukur suhu sebelum bertemu dengan Paus. Tapi ini kan aturan di sini. Saya merasa legah dan berkata dalam hati: Pak JK ini luarbiasa. Sangat sadar dan patuh aturan. Beliau memberikan contoh yang baik. Sebenarnya ukur suhu tubuh juga tidak repot-repot. Jalan tiga meter ke titik telapak kaki. Berdiri menghadap kamera dua detik. Lalu kata pengukur: Beres.
Kami bergerak menuju Taman Borobudur di area Etnologi di lantai bawah Museum Vatikan. Ketika ada jedah sedikit, saya bertanya karena ingin tahu. Pak, bagaimana kesan pertemuan dengan Paus tadi? Spontan beliau menjawab: Bagus dan berkesan sekali. Pikiran-pikiran Paus sangat jelas dan menarik. Saya tidak ingin bertanya lebih lanjut. Apalagi jalan berkelok-kelok dan bertangga banyak. Jawaban itu saja sudah sangat menarik.
Di gerbang area Etnologi kami diterima oleh Padre Mapelli yang bertanggungjawab atas departemen Etnologi. Beliau pernah dua kali ke Indonesia untuk mengurus Taman Borobudur ini. Pak JK merasa senang melihat Stupa Borobudur dan Patung Buddda berukuran besar berdiri di ruang khusus beratap kaca. Di replika Borobudur yang dihadiahkan ke Vatikan sekitar sepuluh tahun lalu kami berdiri sejenak. Pak JK berkomentar: Menarik. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, referensi budaya dan turisme adalah Borobudur, milik agama Buddha. Di India yang mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu, referensi budaya dan turismenya adalah Masjid Raya Taj Mahal. Kami senyum dan mengangguk sepakat. Terus saya menyambung: Luar biasa Pak. Itu artinya orang tidak lupa akan sejarah. Simbol toleransi agama.
Museum Vatikan adalah salah satu Museum ternama dan terbesar di dunia. Sebenarnya nama asli bahasa Italia “Musei Vaticani”. Dalam bentuk jamak. Artinya di dalam Musum itu ada banyak Museum dengan berbagai obyek bersejarah sepanjang duaribuan tahun. Sebelum masa covid-19, jumlah pengunjung bisa sampai enam juta per-tahun. Jadi Borobudur sudah menjadi obyek kekaguman banyak orang.
Kami lalu meninggalkan Padre Mapelli dan bergerak menuju Kapel Sixtin. Dalam perjalanan ke sana, saya menjelaskan kepada Pak JK tentang sejarah Kapel Sixtin. Kapel yang dibangun oleh Paus Sixtus IV pada bagian kedua abad ke-15 ini menjadi penting dan terkenal karena pertama, merupakan satu-satunya Kapel di dunia yang berisi lukisan-lukisan Micheangelo. Dua yang terkenal sekali adalah penciptaan manusia pertama (Adam), di mana Tuhan dan Adam berbaring sambil merentangkan tangan ke arah satu sama lain pertanda saling merindukan dan saling mencari, tetapi jari telunjuk mereka tidak bisa bersentuhan. Dan lukisan terkenal lainnya adalah Pengadilan Terakhir.
Kedua, Kapel Sixtin adalah tempat pemilihan para Paus yang dikenal dengan nama Konklav (dengan kunci; di bailk ruang tertutup). Lantas Pak JK menyambung: Oh, yang ada asap hitam dan putih itu. Lalu saya menjelaskan secara ringkas apa itu Konklav dan bagaimana prosedur pemilihan seorang Paus. Pak JK menyambung: Oh, jadi sangat demokratis.
Di Kapel Sixtin Pak JK memilih untuk berdiri saja supaya lebih leluasa melihat keindahan lukisan-lukisan Michelangelo di abad pencerahan (renaissance) ini. Beliau kelihatan sangat kagum. Oleh karena keterbatasan waktu, mengingat beliau harus bergegas ke bandara Leonardo da Vinci untuk meneruskan perjalanan ke Riyadh dan Mekkah di Arab Saudi, maka kami berhenti di sini.
Dalam perjalanan kembali, saya menyempatkan diri untuk berbicara dengan Pak JK tentang berbagai hal, termasuk sikon politik Indonesia saat ini. Kata beliau: Suhu politik kita naik turun. Ada banyak demo. Pada akhirnya kami berdua sama-sama berharap agar hal ini akan segera berakhir. Tak lupa beliau mengajak untuk nanti bertemu kembali di Jakarta. Beliau tertarik untuk membahas lebih banyak soal dialog lintas agama untuk perdamaian dan kerukunan antar umat beragama. Dengan senang hati saya menyambut keinginan dan ajakan beliau.
Di pintu keluar kami sempat berfoto bersama. Sebelum berpisah saya membisik halus ke beliau: Pak, jangan lupa selalu pakai masker ya. Covid di mana-mana sedang menular drastis. Beliau angguk sambil saling menepuk bahu pengganti jabat tangan.
Sebuah pertemuan indah dengan banyak pesan ekspilsit dan implisit yang pasti akan selalu membekas di dalam hati dan ingatan. Kalau pun banyak hal akan hanyut terkikis oleh waktu, minimal satu hal ini menarik untuk dikenang: Dari Jakarta ke Vatikan, lalu ke Riyadh dan Mekkah, kemudian kembali ke Jakarta. Sebuah perjalanan penuh makna dan pesan. Semuanya untuk Dokumen Abu Dhabi „Persaudaraan Insani“, sebuah pedoman dan batu loncatan berdinamika baru dan lugas menuju perdamaian lintas agama dan kehidupan bersama yang rukun. (***)