Sebaiknya Habisi Yusril Sebelum Jadi Virus di Kubu Jokowi-Ma’ruf

oleh -19 Dilihat

JAKARTA – Analis politik Purba Hermanto menilai Yusril Ihsa Mahendra sedang menjadi ancaman bagi kubu Jokowi-Ma’ruf. Karena itu, ia pantas dihabisi sebelum menjadi virus di kubu Jokow. Ia haris diwaspadai agar tidak menghabisi Jokowi. Berikut analisis Purba Hermanato, yang dikutip dari seword.com.

BARU beberapa bulan Yusril berada di kubu Jokowi, ia sudah beberapa kali melakukan blunder. Gerak-geriknya yang seolah-olah kurang terkontontrol selama ini, menurut saya, merupakan sebuah kesengajaan.

Alasan paling pokok dari berbagai “ulahnya” pasca ia bergabung di kubu Jokowi-Ma’ruf adalah untuk tujuan politik. Bahwa di balik segala tindak-tanduknya selama tiga bulan terakhir, adalah demi kepentingan pribadinya, kelompoknya, dan demi kepentingan partai yang ia dirikan, Partai Bulan Bintang (PBB), yang sepertinya akan sangat sulit lolos ke Senayan.

Sebelumnya di kubu Prabowo-Sandi, Yusril nampak begitu sulit berkembang. Jangankan diberi kepercayaan untuk menduduki salah satu posisi di Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, ia justru dicueki. Ia tidak dianggap. Yusril kalah bersaing dengan para politikus PAN dan PKS, partai yang memiliki platform yang kurang lebih sama dengan PBB.

Mantan penulis pidato Soeharto itu lalu memutar otak. Ia mungkin berpikir, jika ia tetap berada di barisan pendukung Prabowo, ia dan partainya akan tenggelam tanpa meninggalkan bekas. Sebab ia kalah pamor dengan partai-partai pegusung Prabowo-Sandi lainnya. Ia lalu menjumpai Jokowi, yang sebelumnya kerap ia hina, fitnah, dan rendahkan.

Apa boleh buat. Demi kepentingan politiknya, dan seluruh kadernya yang saat ini sedang berjuang untuk duduk sebagai wakil rakyat, ia harus menjilat kembali ludahnya sendiri. Ia balik menyanjung Jokowi, yang sebelumnya ia tuduh tidak pantas menjadi presiden itu. Ia beralasan, bahwa ia memiliki kesamaan visi dan misi dengan Jokowi.

Namun, keberadaannya di Tim Kampanye Nasional (TKN) sebagai kuasa hukum Jokowi-Ma’ruf, bukan justru memberi dampak positif. Ia justru terkesan menjadi seperti benalu. Ia memanfaatkan nama besar Jokowi, ia memanfaatkan pengaruh dan kekuasaan yang dimiliki Jokowi untuk meraup untung sebesar-besarnya bagi dirinya.

Ketika Jokowi berjuang keras untuk melawan hoax, dan segala tindakan rasisme dan radikalisme, Yusril justru sebaliknya. Ia seperti menjadi pendukung tindakan tidak beradab itu. Sebutlah ketika Tengku Zulkarnain menyebarkan kabar bohong tentang ditemukannya 7 kontainer surat suara yang sudah tercoblos misalnya, Yusril justru membelanya.

Ia berusaha mengintervensi hukum dengan menghimbau agar pihak kepolisian tidak memproses Tengku Zulkarnain, terkait kasus hoax yang ia sebar. Bahkan dengan sedikit mengancam ia menyebut bahwa untuk mengambil langkah hukum terhadap Tengku Zul, haruslah penuh kehati-hatian, sebab ia adalah ulama yang berwibawa dan disegani.

Setelah kasus Tengku Zul yang sempat membuat heboh jagad media sosial itu, Yusril nampaknya semakin leluasa bergerak. Ia semakin menjadi-jadi. Ia lalu melobi Presiden Jokowi agar membebaskan Abu Bakar Ba’asyir, narapidana teroris yang cukup berbahaya itu. Saya tidak tahu entah apa yang ia sampaikan, sehingga Jokowi memenuhi permintaannya.

Yusril menyebut bahwa tidak butuh proses panjang hingga Jokowi meng-acc usulannya untuk membebaskan Ba’asyir. Hanya dua kali pertemuan saja. Dan yang paling mengejutkan, dalam keterangan Yusril kepada para pewarta, ia menyebut bahwa Jokowi setuju atas usulannya tersebut, yakni Abu Bakar Ba’asyir bebas tanpa syarat demi alasan kemanusiaan.

Menyimak keterangan Yusril kepada para juru warta tersebut, pikiran saya lalu dihinggapi beberapa pertanyaan yang membutuhkan jawaban dengan segera. Benarkah Jokowi menyetujui Abu Bakar Ba’asyir bebas tanpa syarat? Mungkinkah Jokowi tidak tahu bahwa tindakannya itu sebetulnya menabrak aturan hukum yang berlaku? Semudah itukah Jokowi membebaskan seorang napi teroris, meskipun karena alasan kemanusiaan?

Sebab sebelumnya, tersiar berita bahwa Abu Bakar Ba’asyir menolak menandatangani persyaratan bebas yang diajukan oleh pemerintah: mengakui perbuatannya dan tidak akan mengulanginya lagi, akan membantu pemerintah mengungkap jaringan terorisme di Indonesia, serta setia kepada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ternyata, Yusril mencoba memelintir pembicaraan Jokowi dengannya. Berdasarkan keterangan yang disampaikan Presiden Jokowi hari ini (22/1), benar bahwa ia setuju membebaskan Abu Bakar Ba’asyir dengan alasan kemanusiaan, mengingat usia Ba’asyir yang sudah uzur. Namun ia menyebut bahwa pembebasan Ba’asyir bukanlah pembebasan murni, namun pembebasan bersyarat. Dan syarat-syarat itu harus dipenuhi.

Pun dalam sebuah berita yang dimuat di detiknews yang berjudul “Yusril: Abu Bakar Ba’asyir Bebas Tanpa Syarat”, hari Sabtu lalu (19/1), pernyataan Jokowi sama dengan apa yang ia sampaikan hari ini. Bahwa Jokowi memerintahkan Yusril agar berkoordinasi dengan yang lain sebelum pembebasan Ba’asyir benar-benar diputuskan.

Siapa orang lain itu? Salah satunya adalah Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, serta Kementerian Hukum dan HAM. Mungkin, itu pula sebabnya kenapa Wiranto, Menkopolhukam, segera mengadakan konferensi pers kemarin (21/1) untuk mengklarifikasi pernyataan Yusril Ihza Mahendra tersebut sebab ia adalah orang yang paling6 bertanggung jawab atas usulan Ketua Umum PBB tersebut.

Bahwa terkait usulan pembebasan Abu Bakar Ba’asyir, pemerintah membutuhkan pertimbangan dari berbagai aspek terlebih dahulu, seperti aspek ideologi Pancasila, NKRI, dan aspek hukum lainnya. Apa yang bisa kita simpulkan dari pernyataan Wiranto tersebut? Bahwa Yusril tidak melaksanakan perintah Jokowi, yakni berkoordinasi dengan pihak lain. Baik dengan Wiranto, dalam hal ini Menkopolhukam, pun dengan Yasonna Laoly, Menkumham.

Kenapa Yusril melakukan itu? Ia ingin berlagak jago dan hebat. Ia seolah ingin menunjukkan kepada khalayak ramai bahwa ia adalah salah satu orang yang cukup berpengaruh di kubu Jokowi. Ia ingin dianggap sebagai orang yang paling berperan dalam pembebasan Ba’asyir, demi meraih simpati publik, terlebih-lebih para pendukung Abu Bakar Ba’asyir, untuk kepentingan partainya, dan menyelamatkan partainya.

Yusril masih terbilang baru di kubu Jokowi. Ia masih bau kencur. Namun, ia sudah begitu berani bermanuver demi kepentingan politiknya. Dengan manuver itu, Jokowi menjadi pihak yang paling dirugikan. Jokowi berpotensi kehilangan suara “kelompok minoritas” di negeri ini, yang selama ini mendapat perlakuan tidak baik dari Abu Bakar Ba’asyir dan antek-anteknya.

Oleh karenanya, Jokowi dan seluruh tim sebaiknya lebih jeli lagi mencermati segala gerak-gerik dan tindak-tanduk Yusril yang mengatasnamakan Tim Kampanye Nasional Jokowi Ma’ruf. Jika perlu, sebaiknya Yusril “dihabisi” saja sebelum ia “menghabisi” Jokowi, sebelum ia membuat Jokowi babak belur. Yusril lebih baik out ketimbang menjadi virus di kubu Jokowi. (*/jdz)