KUPANG – Sembilan dari 22 kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur dilaporkan mengalami darurat kekeringan, menyusul sumber-sumber mata air mulai mengering, akibat kemarau panjang.
“Sembilan kabupaten yang masuk dalam darurat kekeringan itu adalah Flores Timur, Rote Ndao, Timor Tengah Utara (TTU), Belu, Malaka, Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya dan Sabu Raijua,” kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTT, Tini Tadeus kepada Antara di Kupang, Rabu (30/8).
Menurut dia, kekeringan hebat yang melanda ratusan desa di sembilan kabupaten tersebut telah membawa dampak buruk terhadap warga desa di pedalaman. “Mereka kesulitan mendapatkan air bersih,” katanya.
“Kalaupun ada bantuan tanggap darurat yang dilakukan pemerintah kabupaten, maka itu hanya sebatas mendroping air bersih untuk kebutuhan minum dan memasak. Sedangkan untuk mandi dan cuci warga harus memanfaatkan sumber-sumber mata air dari sungai atau embung yang ada,” katanya.
Dia menambahkan, laporan darurat kekeringan itu sudah disertai dengan permintaan anggaran sekitar Rp10 miliar, dan sudah diteruskan ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk dipertimbangkan.
Khusus untuk Flores Timur, laporan darurat kekeringan sudah disampaikan jauh hari sebelumnya sehingga sudah ada bantuan sebesar Rp500 juta untuk daerah di wilayah paling timur Pulau Flores itu.
“Di BNPB pusat tersedia anggaran siap pakai bencana kekeringan, sehingga daerah bisa mengusulkan ke gubernur untuk diteruskan ke pusat,” katanya.
Khusus untuk Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Sumba Barat, juga mengalami kekeringan tetapi tidak dilaporkan ke provinsi karena daerah itu sudah melakukan penanganan melalui APBD tahun 2017.
“TTS dan Sumba Barat ini juga merupakan daerah yang setiap tahun selalu dilanda kekeringan, sehingga pemerintah dan DPRD setempat sudah melakukan antisipasi dengan mengalokasikan dana melalui APBD,” katanya.
Dana dari APBD II itu, saat ini digunakan untuk biaya operasional bantuan air bersih kepada warga di desa-desa yang tengah dilanda kekeringan.
“Ada 335 unit mobil tangki yang sudah dikerahkan untuk menyuplai air bersih ke desa-desa,” kata Kepala Pelaksana BPBD Sabu Raijua Pither Mara Rohi kepada Antara melalui telepon genggamnya dari Sabu Raijua, Rabu..
Kabupaten Sabu Raijua yang baru memisahkan diri dari kabupaten induk Kupang sekitar 8 tahun lalu itu terdiri atas 63 desa/kelurahan yang menyebar di enam kecamatan. “Setiap hari rata-rata lima sampai enam mobil tangki melayani satu desa/kelurahan,” katanya.
“Hitungan kami, sebanyak 12 kepala keluarga (KK) dilayani satu tangki dengan asumsi rata-rata setiap desa/kelurahan di layani rata-rata 5 sampai 6 tangki air per hari,” katanya menjelaskan.
Upaya tanggap darurat itu, kata dia, dilakukan sejak Juni 2017. Diperkirakan baru bisa selesai pada bulan Desember 2017 atau pada musim hujan tiba.
Pither Mara Rohi mengatakan bahwa saat ini pemerintah masih fokus menangani pada masalah air bersih warga karena merupakan kebutuhan pokok. Akan tetapi, bukan berarti pemerintah mengabaikan masalah peternakan dan pertanian.
“Perhatian kami saat ini lebih pada pelayanan air bersih. Saya keliling ke seluruh desa dan sebagian warga mengaku bahwa air untuk minum saja tidak ada, apalagi untuk menyiram tanaman,” katanya. Bahkan, kata dia, di antara mereka yang mengaku air untuk membasuh muka saja tidak ada, apalagi untuk cuci dan mandi.
Oleh karena itu, sejak wilayah itu menjadi daerah otonomi, pisah dengan Kabupaten Kupang, pemerintah secara bertahap mulai membangun embung-embung sebagai wadah untuk menampung air hujan.
“Kita harapkan dalam jangka panjang, Sabu Raijua tidak lagi mengalami darurat kekeringan, tetapi bisa tersedia sumber air bagi warga sepanjang tahun,” demikian Pither Mara Rohi. (*/jk)