(Laporan Jurnalistik Viktus Murin, Tenaga Ahli DPR RI)
Partai Golongan Karya melalui fraksinya di DPR RI, mengelaborasi secara amat serius isu mengenai sistem pemilu yang tepat pada Pemilu Serentak 2019. Elaborasi sistem pemilu ini diniatkan untuk mengisi pembahasan RUU Pemilu yang sedang berproses di DPR RI. Bertalian dengan ini ijtihat (perjuangan) politik inilah, Golkar menghadirkan pakar kostitusi, peneliti politik, dan praktisi politik dalam Seminar Sehari yang bertema: “Memastikan Sistem Pemilu yang Tepat untuk Pemilu Serentak 2019 Dalam Rangka Memperkuat Sistem Presidensial”.
SEMINAR tersebut berlangsung pada Rabu 18 Januari 2019 di gedung bundar Senayan, untuk membedah sejumlah isu krusial, diantaranya isu ambang batas pemilu legislatif (parliamentary treshold) dan ambang batas pemilu presiden/wakil presiden (presidential threshold). Narasumber yang diundang pada seminar ini adalah Prof.Dr Moh.Mahfud MD (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi), Philips Rosario Vermonte (Peneliti Senior CSIS), Hanta Yuda (Direktur Poltracking Indonesia), Yahya Zaini (DPP Partai Golkar). Seminar dimoderatori Hetifah Sjaifudian/Anggota DPR RI.
Saat mendampingi Ketua Fraksi Golkar DPR RI, Kahar Muzakir, yang membuka seminar tersebut, politisi senior Rambe Kamarulzaman menegaskan, “Golkar memperjuangkan sampai titik darah penghabisan, sistem pemilu yang akan kita wujudkan adalah sistem pemilu tertutup. Ini hasil musyawarah partai”. Kendati begitu, alur gagasan yang kemudian muncul dalam sesi dialog seminar, banyak menyoroti dengan sangat kritis persoalan “demokratisasi internal” yang tidak berjalan bagus di lingkungan Partai Golkar. Inilah otokritik terbuka bagi Golkar, mengingat para peserta seminar adalah para Anggota Dewan dari Golkar sendiri, dan para Tenaga Ahli baik dari Fraksi Golkar di DPR maupun Tenaga Ahli Anggota Dewan.
Tampil sebagai pemapar materi pertama, Philips Rosario Vermonte, mengurai pemikirannya secara bernas mengenai karakteristik sistem proporsional tertutup. Beberapa hasil penelitian CSIS, menurut Vermonte, merekomendasikan pemilu di Indonesia idealnya menggunakan sistem proporsional tertutup dengan prinsip multi-partai yang lebih sederhana.
Pria asli “urang awak” Padang-Sumatera Barat yang sering dikira orang Portugis gara-gara punya nama unik ini, mengatakan, suatu sistem pemilu lazimnya berkorelasi dengan tiga hal yakni kebutuhan rakyat akan demokratisasi, kesiapan partai politik sebagai agregator aspirasi rakyat, dan kontribusi pemilu terhadap sistem pemerintahan yakni mengarah pada pendekatan representativness, atau pendekatan governmentable? Mengacu pada hasil penelitian politik parlemen di beberapa negara, maka disimpulkan bahwa idealnya parlemen Indonesia menerapkan dihuni oleh enam sampai tujuh partai.
Mengacu pada sejumlah hasil penelitian yang dilakukan oleh CSIS, maka sistem pemilu yang dianggap lebih memadai untuk diterapkan di Indonesia adalah “Sistem Proporsional Tertutup”. Ada sejumlah keunggulan sistem ini antara lain: Pertama, Parpol bisa lebih disiplin dalam hal mengelola pola relasi antara wakil rakyat dengan rakyat di daerah pemilihan. Kedua, rakyat lebih memiliki garansi politik apabila aspirasinya disalurkan langsung kepada partai dibandingkan disalurkan melalui individu wakil rakyat.
Ketiga, ongkos politik yang digunakan tidak akan terlalu mahal karena calon bersinergi dengan partainya. Dia menekankan sebaiknya pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup agar partai yang menjadi poros utama dalam mengelola proses demokratisasi.
Mengapa CSIS tidak merekomendasikan Sistem Proporsional Terbuka? Vermonte membeberkan, mengacu pada situasi empiris pada Pemilu 2014, terdapat beberapa fakta buruk akibat pemberlakuan sistem ini antara lain; Pertama, mahalnya ongkos politik yang harus dikeluarkan selama proses pemilu berlangsung, akibat situasi ketidakpercayaan (dis-trust) diantara calon dengan parpol, serta diantara calon dengan sesama kader di internal partai. Kedua, terjadinya kanibalisasi politik di daerah pemilihan lantaran sesama kawan satu partai bagai saling memangsa demi perolehan suara terbanyak. Ketiga, sistem ini tidak linear dengan proses pengambilan keputusan yang berlangsung di parlemen.
Lebih lanjut Vermonte berargumen, kalau menggunakan proporsional terbuka, maka harus konsisten dengan pola “one man one vote” di ranah parlemen. Kenyataannya, yang terjadi selama ini, adalah suara calon/wakil rakyat justru teredusir oleh suara fraksi. (tulisan pertama dari dua tulisan/bersambung)
Ket Foto : Seminar Sehari Fraksi Partai Golkar DPR RI, Rabu (18/1/2017), bertema: “Memastikan Sistem Pemilu yang Tepat untuk Pemilu Serentak 2019 Dalam Rangka Memperkuat Sistem Presidensial”.