Sopi dan Moke Bakal Punya Martabat Ekonomi Setara Wine dan Sake

oleh -48 Dilihat

Sopi, minuman tradisional khas NTT.

KUPANG – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur menyambut baik diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Perpres yang telah ditetapkan Presiden Jokowi pada 2 Februari 2021 dan diundangkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly itu, salah satunya mengatur soal daftar bidang usaha dengan persyaratan tertentu termasuk minuman keras (miras).

Artinya, dengan adanya Perpres Nomor 10/2021 ini minuman tradisional khas NTT seperti sopi dan moke bakal memiliki martabat ekonomi setara wine dan sake.

Asal tahu, bidang usaha yang diatur yakni industri minuman keras mengandung alkohol, industri minuman mengandung alkohol (anggur), industri minuman mengandung malt, perdagangan eceran minuman keras atau alkohol dan perdagangan eceran kaki lima minuman keras atau alkohol.

Dalam Perpres tersebut, diatur pula hanya daerah tertentu yang boleh mengadakan bidang usaha miras ini yakni Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat.

Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat melalui Karo Humas Setda NTT, Ardu Jelamu Marius menyebut bahwa terbitnya Perpres tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mengembangkan komoditas lokal yang mengandung alkohol sebagai minuman tradisi (budaya) sekaligus penggerak ekonomi masyarakat.

“Ini bagian dari upaya pemerintah untuk mengembangkan komoditas lokal, karena ini minuman budaya yang juga menggerakkan roda ekonomi,” ujar Ardu Jelamu kepada POS-KUPANG.COM, Minggu (28/2) sore.

Ardu Jelamu menyebut, Peraturan Presiden tersebut turut mengatur juga pengendalian minuman beralkohol itu. “Walaupun ada peraturan presiden tetapi tidak berarti masyarakat konsumsi sembarangan,” tegas dia.

Provinsi NTT sendiri merupakan salah satu provinsi yang kental dengan penggunaan minuman keras tradisional dalam berbagai seremonial dan ritual adat. Dari sejarahnya, berbagai usaha produksi minuman keras tradisional seperti moke (arak) di wilayah Flores atau Sopi di wilayah Daratan Timor Sumba dan Rote serta Sabu telah memberi dampak ekonomi bagi masyarakat.

“Dengan aturan ini maka arak sebagai komoditas ekonomi akan berkembang dengan baik. Sejarah membuktikan banyak keluarga bisa menyekolahkan anaknya dari usaha ini,” ujar Jelamu.

Namun demikian, menurutnya, Peraturan Presiden tersebut perlu diimplementasikan oleh peraturan daerah yang mengatur tentang bagaimana pengendalian miras sehingga tidak dikonsumsi melebihi takaran.

“Pemprov dan DPRD bisa menyepakati untuk implementasi lebih lanjut seperti apa produksinya, bagaimana distribusi, pemasaran, bagaimana ketentuan konsumsi, pada usia berapa, kalau dalam pesta adat seperti apa, dan sebagainya,” kata Jelamu.

Sebagai bagian dari kearifan lokal yang ada di Provinsi NTT, jelas Ardu Jelamu, maka harus diatur lebih lanjut dalam aturan daerah untuk menerjemahkan secara lebih rinci teknis di lapangan. “Ini nanti tinggal bagaimana setiap kabupaten mengorganisir produk lokal yang selama ini dikonsumsi tanpa aturan itu,” katanya.

Jelamu menegaskan, Peraturan Presiden yang diterbitkan itu tidak bermaksud supaya orang dapat mabuk mabukan tetapi produksi dan distribusi dapat diatur dan dikelola dengan manajemen yang baik sehingga produk lokal dapat menjadi produk yang berkualitas dan bernilai ekonomis.

“Ini seperti moke dan sopi diberi martabat ekonomi minimal setara dengan wine, sake dsb sehingga dapat dikembangkan dengan kualitas dan nilai ekonomi yang bagus,” pungkas dia.

Terpisah, Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian NTT, Drs. Ec. Muhammad Nasir Abdullah, MM mengatakan, Provinsi NTT telah lebih dahulu memiliki payung hukum daerah terkait dengan regulasi produksi dan distribusi minuman beralkohol lokal.

Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat sebelumnya telah menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 44 tahun 2019 tentang Pemurnian dan Tata Kelola Minuman Tradisional Beralkohol Khas NTT.

Peraturan Gubernur yang ditandatangani oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Benediktus Polo Maing dan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat itu ditetapkan pada tanggal 12 April 2019.

Ditetapkannya Pergub Nomor 44/2019 itu agar menjadi pedoman dalam pelaksanaan pembinaan, pemurnian, pengendalian dan pengawasan terhadap proses produksi minuman tradisional beralkohol baik yang belum dimurnikan maupun yang sudah dimurnikan.

Pergub tersebut berisi 11 bab dan 17 pasal yang secara rinci mengatur berbagai hal, mulai proses penyulingan di tingkat masyarakat, distribusi, penjualan hingga sanksi baik bagi penyuling maupun bagi penjual.

Nasir mengatakan, dengan Perpres 10/2021 maka dapat menjembatani investasi minuman beralkohol lokal di NTT. Selain itu, dapat pula mengontrol distribusi dan mengawasi produksi, sehingga seluruh prosesnya sesuai dengan standar kesehatan.

“Dalam Pergub, sistem distribusi yang kita anut juga tidak bertabrakan dengan norma artinya distribusi dilakukan pada tempat yang ditunjuk, misalnya jauh dari rumah ibadat dan jauh dari sarana pendidikan,” kata Nazir.

Selain itu, salah satu poin juga memuat pengawasan produksi hanya sampai 40 persen kadar alkohol dan mengatur soal zero metanol.

Nazir bahkan menyebut, Pergub 44/2019 tentang Pemurnian dan Tata Kelola Minuman Tradisional Beralkohol Khas NTT itu telah diadopsi oleh Provinsi Bali yang mengembangkan Arak Bali dan Provinsi Sulawesi Utara dengan Cap Tikus setelah ia presentasikan. (pkc/yan/st)