PERSPEKTIF Viktus Murin*)
“Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka. Tetapi engkau hai manusia Allah, jauhilah semuanya itu, kejarlah keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan. Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal. Untuk itulah engkau telah dipanggil dan telah engkau ikrarkan ikrar yang benar di depan banyak saksi”. (1 Timotius 6:10-12)
PETIKAN naz Alkitab ini sengaja dicantumkan pada awal tulisan ini (mengacu pada keyakinan teologik-imaniah saya selaku penulis), semata-mata untuk menegaskan bahwa kehidupan politik tentu saja memiliki korelasinya dengan pesan-pesan moral atau ajaran agama. Dalam diksi yang lain, kehidupan politik tidak boleh dibiarkan untuk “imun” atau kebal terhadap ruang-ruang moral-keagamaan. Apabila kondisi nir-moral dibiarkan bertumbuh di dalam ranah kehidupan politik, maka suatu negeri akan menjadi negeri yang kacau-balau karena para pemimpin dibiarkan berbuat sesuka-sukanya sehingga potensial menjadi penguasa lalim yang memangsa dan memusnahkan keadaban.
Negara kita Indonesia memang bukan negara agama. Itu jelas terefleksikan di dalam konstitusi asli negara Indonesia (UUD 1945) yang dirumuskan oleh Para Pendiri Bangsa (the founding fathers). Tetapi, fakta konstitusional ini tidak lalu berarti bahwa para pemimpin bangsa ‘dibiarkan berjarak’ secara ekstrim dengan ranah keagamaan. Oleh karena negara kita bukanlah negara agama, maka pranata konstusional-ketatanegaraan kita tidak boleh dicampuradukkan secara tekstual dengan teks-teks keagamaan, lebih-lebih dengan ayat-ayat suci di tiap-tiap Kitab Suci. Tetapi, nilai-nilai moral-keagamaan sebagaimana yang tersurat maupun tersirat di dalam tiap-tiap Kitab Suci, mesti diposisikan sebagai “kekuatan inspiratif” bagi para pemimpin sesuai dengan keyakinan imaniahnya kendati pun itu bersifat privat.
Sejauh ini, di ranah wacana, selain terdapat terminologi “negara agama”, di sisi lain terdapat pula terminologi “sekularisme” untuk menunjuk adanya pemisahan ranah ketatanegaraan dengan ranah privat warga negara. Indonesia jelas-jelas bukanlah negara agama! Bukan pula negara sekuler! Dalam konteks realitas dan sejarah perjalanan keindonesiaan yang majemuk, negara Republik Indonesia bukanlah negara sekuler, dan bukan pula negara agama.
Kebijaksanaan pikiran yang bersumber dari kemuliaan hati Para Pendiri Bangsa, telah menghantarkan mereka pada karya kebangsaan paling monumental yakni melahirkan Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state) yang berdasarkan prinsip “nasionalisme-religius”, yang terefleksikan secara kental dalam muatan nilai-nilai luhur Pancasila, lebih khusus lagi pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama inilah yang menjadi payung dan panduan moral bagi segenap warga bangsa Indonesia, khususnya para pemimpin, dalam pengejawantahan keempat sila lainnya; Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Demikianlah, setiap pemimpin yang diberikan mandat oleh rakyat di negeri ini untuk mengemban amanah kepemimpinan, hendaknya mampu mentransformasikan nilai-nilai mulia yang terkandung di dalam Kitab Suci yang diyakini oleh masing-masing pemimpin sesuai dengan iman-kepercayaannya. Dalam konteks keindonesiaan, inilah sejatinya irisan nasionalisme-religius, bahwa kebijakan-kebijakan yang diproduksi dari ranah kenegaraan hendaknya terinspirasi oleh nilai-nilai suci yang tersurat dan tersirat di dalam Kitab Suci. Dengan begitu, ajaran-ajaran moral-keagamaan diposisikan secara seharusnya sebagai panduan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam perspektif filsafati, tinggal kita memilih, apakah negeri ini mesti menabur dan menyemaikan spiritualitas kepemimpinan? Atau sebaliknya, membiarkan negeri ini terjatuh dalam pusaran perburuan rente kekuasaan belaka?
Bau Anyir Politik Uang
Tidak dapat diingkari bahwa hingga kini, krisis dan keruntuhan etika politik di negeri ini masih kuat terasa. Sangat mungkin karena para politikus tidak membuka dirinya untuk menerima dan melakoni “hikmat-hikmat ilahi” yang terefleksikan melalui teks-teks Kitab Suci seturut keyakinan imaniahnya. Adalah sungguh ironis, bahwa bangsa kita yang acapkali mengklaim diri sebagai bangsa religious, namun tidak tampak nyata manifestasinya di dataran lakon politik praktis. Apakah politik memang tidak boleh dilandasi moral-keagamaan? Apakah politik itu harus dibiarkan dipraktekkan secara kotor dan busuk? Apakah politik harus dilakoni dengan jurus-jurus tipu-daya yang menisbikan moralitas kemanusiaan? Bila kita bersikap permisif bahwa lakon politik boleh berjalan tanpa panduan nilai-nilai moral-keagamaan, maka tunggulah saja waktunya bangsa kita akan hancur dari dalam dirinya sendiri.
Mumpung masih hangat, karena baru satu-dua hari yang lewat, saya kutip pernyataan Buya Syafii (Prof Ahmad Syafii Maarif), Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1998-2005, bahwa para politisi yang bertarung dalam pesta demokrasi agar tidak mencatut dan ‘memaksa’ Tuhan untuk berpihak pada tujuan politik sesaat. Termasuk tidak mempergunakan ayat-ayat Kitab Suci untuk saling menjatuhkan dan membela kepentingan politik tertentu.
“Kalau memperalat Tuhan untuk tujuan politik yang kotor itu tidak bisa dibenarkan,” kata Syafii Maarif saat dimintai tanggapan soal kegaduhan pernyataan Ahok terkait Surat Al Maidah:51 pada acara program Indonesia Lawyers Club (ILC) yang ditayangkan salah satu TV swasta, bertajuk “Setelah Ahok Minta Maaf”, Selasa (11/10). Buya Syafii tidak melarang sama sekali para politisi untuk mengutip ayat suci. Namun, hendaknya tidak mempergunakan ayat Kitab Suci untuk tujuan yang kotor.
Dalam dimensi kekinian, bila kita cermati, salah satu lakon politik yang tidak mencerminkan nilai-nilai moral-keagamaan adalah praktek politik uang (money politics). Simaklah situasi di banyak tempat di negeri ini, pun pada hari-hari ini, pada momentum jelang pilkada serentak 2017. Bau anyir politik uang masih tajam tercium, lebih-lebih di ‘masa genting’ memburu pintu kendaraan politik sebelum masa tenggat pendaftaran ditutup oleh penyelenggara pilkada. Kendati bau anyir politik uang itu begitu menyengat, namun ibarat ‘buang angin’ (baca: kentut –maaf), nyaris mustahil untuk dibuktikan. Aroma busuk politik uang menyebar ke mana-mana, tetapi sulit menemukan bukti adanya transaksi ‘uang haram’ semacam ini.
Yang pasti, dalam konteks merawat keadaban demokrasi, semua partai tidak mungkin menghalalkan politik uang. Semua partai pasti menolak politik uang! Tetapi, jauh di dalam ruang gelap-gulita yang penuh sampah intrik politik kotor, ada saja invisible hand alias tangan-tangan jahat tak kelihatan, yang terus bergerak lincah menawar ‘mahar’. Demi memperoleh pintu kendaraan politik, para pemulung politik beradu tipu-daya dengan cara canggih. Entah siapa menipu siapa? Entah siapa ‘memakan’ uang siapa? Sangat mungkin, uang-uang modal transaksi gelap seperti ini akan ‘diusahakan’ pengembaliannya saat kekuasaan politik hasil pilkada sudah benar-benar berada di dalam genggaman. Benarkah begitu adanya? Walauhalambisawab! Entahlah!
*) Viktus Murin, Kolumnis/Penulis Buku.