Tafsir Keadilan bagi Koruptor

oleh -25 Dilihat

PEMBERANTASAN korupsi menghadapi tantangan baru dari penafsiran para hakim agung tentang keadilan bagi koruptor. Sepanjang 2019 hingga September 2020, setidaknya 22 terpidana kasus korupsi menikmati keringanan hukuman melalui vonis Mahkamah Agung, baik dalam bentuk putusan kasasi maupun peninjauan kembali.

Beragam alasan hakim agung dalam memangkas hukuman koruptor. Tentunya, semua pertimbangan yang dikemukakan MA dalam menjatuhkan putusan memuat dalil-dalil yang tidak menyimpang dari koridor undang-undang. Hanya tafsirnya yang bisa berbeda dari pertimbangan putusan di tingkat di bawahnya sehingga vonis pun dapat menjadi lebih ringan.

Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro berdalih Mahkamah Agung memutuskan berat-ringannya hukuman pidana yang dijatuhkan kepada setiap terpidana berdasarkan keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan bagi korban, keadilan bagi terdakwa/terpidana, serta keadilan bagi negara dan masyarakat.

Sekali lagi, keadilan yang dimaksud bergantung pada tafsir hakim. Tidak peduli bila institusi lain hingga publik memandang adanya ketidakadilan dalam vonis meringankan yang dijatuhkan kepada koruptor. Jangankan institusi lain, di dalam tubuh MA sendiri tafsir keadilan bisa sangat berbeda.

Sebagai contoh, vonis terhadap dua eks pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi pengadaan KTP elektronik. Pada April 2018, MA melalui putusan kasasi memperberat hukuman keduanya menjadi 15 tahun penjara, dua kali lipat dari vonis pengadilan di bawahnya.

Saat itu, permohonan kasasi Irman dan Sugiharto ditangani sang algojo koruptor, hakim agung Artidjo Alkostar. Namun, hakim agung yang lain selepas Artidjo pensiun pada Mei 2018 memberikan penafsiran berbeda. Putusan di tingkat PK yang terbit bulan ini memangkas hukuman Irman menjadi 12 tahun penjara.
Demikian pula Sugiharto yang lantas mendapat 10 tahun penjara.
Pada kasasi mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham, MA juga memakai tafsir hukum yang berbeda dari hakim pengadilan tingkat banding.

Hakim agung yang memutuskan perkara itu sepakat dengan pengadilan tingkat pertama yang mengenakan pasal pidana lebih ringan terhadap Idrus. Akan tetapi, vonis yang dijatuhkan MA hanya 2 tahun penjara, lebih rendah daripada putusan pengadilan tingkat pertama yang menjatuhkan 3 tahun penjara.

Tidak mengherankan bila lantas muncul pertanyaan di publik, apakah MA menaruh belas kasihan kepada koruptor? Tidak bisa dimungkiri rentetan vonis meringankan dari MA telah memancing gelombang permohonan kasasi dan PK dari para terpidana koruptor.

Pada 2017 tercatat 188 perkara PK diajukan ke MA. Kemudian, di 2018 naik menjadi 208 perkara, dan pada 2019 kembali meningkat menjadi 235 perkara. Terpidana koruptor seakan mendapatkan semangat dan harapan baru untuk bisa bebas lebih cepat melalui uluran tangan MA.

Di sisi lain, efek jera pun meredup. Barangkali patut kita ingatkan kepada para hakim agung, korupsi dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Itu artinya bukan hanya 1 atau 2 orang yang menjadi korban, tetapi rakyat secara luas.

Maka, adilkah vonis meringankan kepada koruptor itu bagi negara dan masyarakat? Kiranya, hakim agung yang terhormat yang dapat menjawab kerisauan ini. (e-mi/jdz)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *