Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Papua. Foto: Istimewa.
JAKARTA, mediantt.com – Aparat Kepolisian Daerah (Polda) Papua tidak memiliki alasan mengabaikan untuk memproses secara hukum kasus dugaan korupsi penyalahgunaan Rp 16.108.000.000 lebih yang terjadi di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua (kini, Provinsi Papua Pegunungan) tahun anggaran 2017.
“Perlu dipahami, pertama dilakukan audit internal oleh inspektorat. Bila secara administrasi misalnya ada kekurangan kwitansi dan lain-lain tetapi uangnya benar-benar digunakan untuk kepentingan negara, maka dibereskan secara administrasi,” ujar praktisi hukum nasional Petrus Jaru, SH, MH kepada wartawan di Jakarta, Kamis (11/4/2024).
Namun menurut Petrus, bila hasil audit BPK tidak karena masalah administrasi tetapi ada kerugian keuangan negara secara riil maka diproses secara hukum. Berbeda dengan audit internal oleh inspektorat, pihak auditor hanya memberikan sejumlah catatan sehingga pihak yang berkepentingan membereskan kekurangan secara administrasi dalam pengelolaan keuangan instansi bersangkutan.
“Audit Badan Pemeriksa Keuangan itu melihat apakah ada penyalahgunaan wewenang sehingga merugikan keuangan negara secara riil. Kalau dalam konteks di Setwan Tolikara benar-benar merupakan bukti hasil temuan BPK RI Perwakilan Papua, hukum sudah sangat kuat dilakukan proses hukum,” ujar Petrus lebih lanjut.
Praktisi hukum dari Firma Hukum Edi Hardum and Partners Dr Edi Hardum, SIP, SH, MH, juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia mengambil alih penanganan kasus dugaan penyalahgunaan keuangan di DPRD Tolikara tahun anggaran 2017 sebesar Rp 16.108.000.000.
“Sejauh ini, oleh karena pihak penyidik Tindak Pidana Korupsi Polda Papua belum menetapkan tersangka, kasus ini segera diambil alih KPK RI demi menyelamatkan uang rakyat Tolikara,” ujar Edi kepada wartawan di Jakarta, Senin (8/4).
Menurut Edi, KPK segera mengambil alih kasus ini mengingat kasus tersebut sudah lama terjadi. Tersendat-sendatnya proses hukum kasus tersebut, kata Edi, ada dugaan conflict of interest, konflik kepentingan semisal oknum penyidik di Polda Papua takut kepada atasan. Karena itu, KPK segera mengambil alih proses penanganan hukumnya.
“KPK RI punya tugas untuk mengambil alih dugaan korupsi dengan nilai di atas Rp 1 miliar. Saya lihat kasus itu sudah matang dan dinaikkan statusnya ke penyidikan kemudian menetapkan tersangka. Saya menyayangkan mengapa Polda Papua belum menuntaskan kasus ini? Ada apa di balik proses penanganan kasus itu sehingga tersendat-sendat? Bisa saja dugaan saya banyak keterbatasan di tubuh Polda Papua atau ada oknum yang bermain di balik kasus ini,” kata Edi.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Perwakilan Provinsi Papua atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Tolikara Nomor 17.C/LHP/XIX.JYP/06/2018 tertanggal 21 Juni 2018, realisasi belanja makanan dan minuman pada Sekretariat DPRD Kabupaten Tolikara senilai Rp. 16.108.000.000 tidak sesuai dengan kondisi senyatanya.
Hasil temuan BPK tersebut sudah diadukan ke Polda Papua, namun tak kunjung ada proses hukum selanjutnya. Deiron Wenda, salah seorang warga pada 11 Oktober 2023 juga sudah mengadukan kasus dugaan penyalahgunaan keuangan negara sebesar Rp 16 miliar lebih di Setwan Tolikara ke Polda Papua melalui Direktorat Reserse dan Kriminal Khusus, namun nasib aduannya belum ditindaklanjuti hingga saat ini.
Salinan hasil laporan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Papua menyebutkan, realisasi belanja makanan dan minuman pada Sekretariat DPRD Tolikara senilai Rp 16.108.000.000 tidak sesuai dengan kondisi senyatanya.
Hasil laporan BPK Perwakilan Papua menyebutkan, Pemkab Tolikara menyajikan realisasi belanja barang dalam laporan realisasi anggaran (LRA) per 31 Desember 2017 dan 2016 masing-masing sebesar Rp 405.096.953.650 dan Rp 358.679.082.413. Realisasi belanja barang tersebut mengalami kenaikan sebesar Rp 46.417.871.237 atau sebesar 12,94 persen dari tahun sebelumnya.
Sekretariat DPRD Tolikara menganggarkan belanja barang dan jasa senilai Rp 66.021.345.000 dan direalisasikan senilai Rp 36.356.354.000 atau sebesar 55,07 persen. Belanja barang dan jasa tersebut antara lain berupa belanja makanan dan minuman. Hasil pengujian uji petik terhadap bukti surat pertanggung jawaban (SPJ) perangkat daerah di atas diketahui terdapat bukti SPJ belanja makanan dan minuman yang tidak sesuai kondisi senyatanya pada Sekretariat DPRD.
Hasil pemeriksaan uji petik atas bukti SPJ atas belanja makanan dan minuman pada tabel laporan BPK RI Perwakilan Papua, yaitu untuk belanja makanan dan minuman untuk pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Rapperda) senilai Rp 4.000.000.000 diketahui terdapat bukti pertanggungjawaban belanja makanan dan minuman yang diragukan kebenarannya.
Keraguan kebenaran tersebut berikut. Pertama, SPJ atas pekerjaan makanan dan minuman kepada Rumah Makan F untuk kegiatan pembahasan Raperda tangga 27 September 2017 sebanyak 490 porsi senilai Rp 500.000.000.
Dari hasil konfirmasi tanggal 13 Mei 2018 ke pemilik Rumah Makan F selaku penyedia, diketahui bahwa harga untuk 490 porsi makanan dan minuman adalah sebesar lebih rendah Rp 173.538.800 daripada harga yang tercantum pada bukti SPJ sebesar Rp 500.000.000.
Kedua, SPJ atas pekerjaan makanan dan minuman kepada Rumah Makan A untuk kegiatan Raperda tanggal 26 September 2017 sebanyak 500 porsi senilai Rp 500.000.000. Dari hasil konfirmasi tanggal 12 Mei 2018 ke masyarakat sekitar Rumah Makan A selaku penyedia, diketahui bahwa Rumah Makan A tersebut pada tahun 2017 sudah tutup. Dengan demikian, pelaksanaan pekerjaan tidak diyakini keterjadiannya.
Berdasarkan hasil permintaan keterangan kepada Sekretaris DPRD tanggal 14 Mei 2018, yang bersangkutan mengakui bahwa SPJ belanja makanan dan minuman tersebut tidak sesuai dengan kondisi senyatanya.
Kegiatan pembahasan Rapperda memang benar dilakukan, namun nota dan bukti-bukti dalam SPJ dibuat tidak sesuai dengan kondisi senyatanya dalam hal volume maupun harga. Di antaranya bukti dari Rumah Makan A dan Rumah Makan F, di mana dalam realisasinya tidak sebesar itu, bukti tersebut dibuat hanya untuk memenuhi administrasi.
Hal tersebut dilakukan karena anggota DPRD meminta dana tersebut dicairkan secara tunai. Namun atas kondisi tersebut, Sekretaris DPRD tidak memiliki bukti atau dokumen yang mendukung seperti serah terima uang tunai, daftar kehadiran Rapperda, dan bukti-bukti belanja makanan dan minuman yang riil. Bukti-bukti tersebut dibawa oleh Bendahara Pengeluaran yang lama dan keberadaanya tidak dapat dihubungi.
Hasil pemeriksaan atas dokumen SPJ dan permintaan keterangan Sekretaris DPRD Tolikara tersebut juga diketahui bahwa pembuatan bukti SPJ yang tidak sesuai dengan kondisi senyatanya tersebut juga dilakukan pada belanja makanan dan minuman atas 12 kegiatan tersebut di atas senilai Rp 16.108.000.000.
Selanjutnya dari hasil permintaan keterangan lanjut kepada anggota DPRD diketahui bahwa anggota DPRD tersebut menyatakan tidak menerima uang terkait belanja makanan dan minuman, baik pada kegiatan pembahasan Rapperda maupun kegiatan lainnya.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 21 Tahun 2011 Pasal 132.
Pasal 132 Ayat 1 Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 menyatakan, setiap pengeluaran belanja atas beban APBD harus didukung bukti yang lengkap dan sah. Kemudian, Ayat 2 menyatakan bahwa bukti sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus mendapat pengesahan oleh pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab atas kebenaran material yang timbul dari penggunaan bukti dimaksud.
Hal tersebut mengakibatkan belanja makanan dan minuman pada 12 kegiatan Sekretariat DPRD Tolikara tidak dapat diyakini kewajarannya senilai Rp 16.108.000.000. Hal tersebut disebabkan karena Sekretaris DPRD Tolikara lalai merealisasikan belanja makanan dan minuman pada 12 kegiatan DPRD Tolikara sesuai kondisi senyatanya.
Atas permasalahan tersebut Pemerintah Kabupaten Tolikara melalui Sekretaris DPRD menyatakan sependapat dan berkomitmen penuh untuk membenahi kondisi yang ada sehingga dikemudian hari tidak terulang lagi kesalahan yang sama.
BPK RI juga merekomendasikan kepada Bupati Tolikara agar memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada Sekretaris DPRD terkait pertanggungjawaban belanja makanan dan minuman tidak sesuai kondisi senyatanya. Kemudian memerintahkan Sekretaris DPRD Tolikara mempertanggungjawabkan nilai belanja makanan dan minuman yang tidak sesuai dengan kondisi senyatanya setelah melalui verifikasi inspektorat. (*/jdz)