Tak Etiskah Berbicara Tentang Orang Mati?

oleh -21 Dilihat

Oleh : Justin L. Wejak
Peneliti dan Dosen Kajian Asia
The University of Melbourne, Australia

BELUM lama lalu Petrus Bala Wukak (PBW), anggota DPRD Kabupaten Lembata dari Fraksi Golkar, membuat sebuah pernyataan pembelaan terhadap almarhum (alm) Bupati Lembata, Yentji Sunur (YS). Ia melakukan itu bukan cuma untuk membela alm YS semata, melainkan sebagai bantahan terhadap maraknya percakapan publik mengenai perilaku politik dan kebijakan-kebijakan tertentu YS. Seperti PBW, YS adalah juga orang Golkar, tetapi YS itu Ketua Golkar Lembata dalam hirarki kepemimpinan partai.

YS tewas terpapar Covid-19 pada Sabtu 17 Juli 2021 di Kupang. Berkat bantuan Gubernur NTT, Viktor Laiskodat, jenazah YS diterbangkan kembali ke Lembata pada Minggu 18 Juli 2021 dan dimakamkan di pelataran rumah pribadinya di Kuma Resort, sebuah resort mewah yang dibangun saat almarhum menjabat sebagai Bupati Lembata dua periode. Kuma berfasilitas mewah itu kemudian dijadikan Rumah Jabatan Bupati untuk dirinya, tentu dengan uang sewa lumayan gede dari APBD II Lembata. Bahkan semua biaya perawatan Kuma Resort dan pembangunan beberapa fasilitas di Kuma katanya diambil dari APBD II Lembata.

PBW menyatakan bahwa berbicara tentang hal-hal yang berhubungan dengan alm YS termasuk tentang gajinya sebagai bupati yang katanya mencapai angka Rp 408 juta/bulan itu tidak etis. Menurut PBW, tidak etis berbicara tentang orang mati, apalagi tentang dugaan dosa-dosanya. Pernyataannya itu kemudian dikutip dan diterbitkan di beberapa koran lokal online. Namun, betulkah bahwa berbicara tentang seseorang yang sudah mati itu tidak etis?

Dalam banyak masyarakat asli di seantero dunia termasuk di Lembata, ada sebuah ‘kebiasaan’ atau tradisi di mana saat orang meninggal dan sebelum dimakamkan, para pelayat diajak mendekati jenazah dan menyampaikan utang-utang almarhum, jika ada. Penyampaian utang kemudian ditanggapi oleh anggota keluarga almarhum melalui pernyataan kesediaan menyelesaikan semua utang apa pun dari almarhum. Setelah itu baru jenazah boleh dikebumikan. Itu artinya penyampaian utang dan pernyataan kesediaan melunasinya merupakan bagian penting dari ritus kematian orang yang sudah dewasa.

Saat ayah saya meninggal pada awal bulan November 2018, dan sebelum dimakamkan, para hadirin diajak untuk mendekati jenazah dan menyampaikan utang-utang sang ayah. Tak seorang pun mendekat. Jenazahnya kemudian dimakamkan dengan asumsi bahwa ayah saya tak punya utang apa pun. Sayang, lebih dari dua tahun kemudian ada keluarga menyampaikan bahwa ayah saya punya utang, dan utang itu harus segera dilunasi, bahkan dengan ketentuan bentuk balasannya.

Tentu saja ada perasaan sedikit kaget dan bingung. Beragam pertanyaan muncul dalam benak: Mangapa baru disampaikan sekarang? Apakah ada motif lain di balik itu? Betulkah bahwa sang ayah punya utang? Dan mengapa pula langsung diputuskan sendiri oleh pihak penuntut bentuk balasan utang tanpa perundingan dengan pihak sebelah?

Dari perspektif budaya lokal, etis tidaknya pembicaraan tentang utang seseorang yang sudah meninggal dunia tergantung pada kapan dan di mana pembicaraan itu dilakukan. Adat masyarakat tertentu seperti dalam cerita di atas sudah mengatur itu. Bukankah segala sesuatu ada waktunya? Waktu dan tempat sangat menentukan etis tidaknya. Itu artinya menyampaikan utang seseorang yang sudah meninggal di luar konteks ritus kematian dapat dinilai tidak etis, bahkan mencurigakan.

Alm Bupati Lembata YS meninggal di Kupang. Jenazahnya dibawa pulang ke Lembata dan segera dimakamkan, sesuai dengan prokes Covid-19. Gubernur NTT, Viktor Laiskodat, memastikan bahwa YS memang meninggal oleh karena terpapar Covid-19. Tak ada kesempatan bagi siapa pun warga Lembata menyampaikan utang-utang almarhum sebagai bagian dari ritus kematian dalam tradisi masyarakat asli tertentu di Lembata.

Itu artinya, secara kultural, warga Lembata yang kemudian berbicara tentang alm YS usai pemakamannya tak bisa serta merta dituduh ‘tidak etis’. Untuk alasan itu, tudingan PBW seyogianya dipertimbangkan kembali dengan mempertimbangkan aspek kultural, yaitu bahwa warga seharusnya diberikan kesempatkan melitanikan utang-utang alm YS sebelum dikebumikan. Namun itu tidak terjadi, bukan? Tentu saja, apa yang tidak terjadi saat itu, lantas tidak boleh serta merta dianggap otomatis membenarkan pembicaraan sekarang tentang YS dan dosa-dosa politiknya.

Pembelaan Politik

Tudingan ‘tidak etis’ kepada pihak-pihak yang berbicara tentang keburukan YS setelah wafat dapat dipandang sebagai sebuah strategi pembelaan politik semata terhadap kepentingan YS, dan mungkin juga para kroninya. Namun pembelaan itu dapat dipastikan tanpa hasil, karena khalayak Lembata masih belum sudi berhenti dari pembicaraan tentang perilaku politik dan kebijakan-kebijakan YS yang dinilai merugikan rakyat Lembata.

Bahkan, lebih dari itu, gaya pembelaan PBW justru bisa berimbas pada pelemahan basis kekuatan Partai Golkar di Lembata. Terlihat ada warga mulai memperlihatkan rasa ketaknyamanannya terhadap Partai Golkar gara-gara perilaku para politisi dan birokrat lokal.

Mungkin PBW perlu berhenti membuat pernyataan-pernyataan tertentu yang bisa dinilai counter-productive, karena mata dan kuping publik tahu apa yang sesungguhnya terjadi selama masa kekuasaan alm Bupati Yentji Sunur. Tak terdengar sedikit pun, dan jika terdengar sekalipun itu sayup diperdengarkan, suara kritis anggota-anggota Dewan dari Fraksi Golkar terhadap perilaku politik YS dan kebijakan-kebijakan publiknya termasuk proyek jeti apung Awololong yang mubazir. Jelas negara dan rakyat Lembata sama-sama rugi besar. Pertanyaannya, etiskah itu pilihan sikap diam dari PBW dan sesama anggota Dewan se-partainya ketika YS masih hidup dan berkuasa?

Menolak Diam

Tanpa perlu didorong warga Lembata memperlihatkan suatu kesadaran untuk menolak diam usai kematian YS. Mereka berlitani panjang tak henti tentang semua yang terjadi saat YS di singgasana kekuasaan. Bahkan mereka mengharapkan adanya semacam antithesis dari gaya kepemimpinan sebelumnya yang terkesan otoriter dan semena-mena, dengan menuntut Plt. Bupati Lembata Thomas Ola Langoday membatalkan semua kebijakan kontra-kepentingan rakyat, termasuk kembali menempatkan Rujab Bupati lama yang lama ditinggalkan tak terurus.

Ada tanda-tanda positif harapan khalayak terjawab. Plt Bupati Lembata langsung turun bersama tim membersihkan Rujab Bupati lama, dan menyatakan ingin segera menempati rumah itu. Ia pun dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap gaji bupati Rp 408 juta/bulan. Menarik, pernyataan Plt Bupati Lembata tentang uang mendapatkan reaksi tak nyaman. Bicara soal uang mungkin sangat peka sehingga cepat memantik reaksi.

Ternyata mantan Sekda Lembata yang kini sudah pensiun, Petrus Toda Atawolo, juga ikut buka suara. Ia mengamini sikap Plt. Bupati Lembata yang menolak digaji Rp 408 juta/bulan. Sebagai mantan Sekda, ia tahu benar aturan dan detail-detailnya, dan menilai gaji sebesar itu tidak patut di kabupaten tertinggal Lembata.

Sembari segelintir rakyat menolak diam berbicara tentang masa lampau, PBW mungkin perlu sejenak bertanya diri: Etiskah menyuruh orang diam ketika ia sendiri belum pula berhenti diam? Etiskah menganggap orang tidak etis ketika mereka berbicara tentang almarhum Bupati Lembata Yentji Sunur, dan ketika ia sendiri ternyata diam seribu bahasa menyaksikan gaya operasi senyap dalam kepemimpinan otoriter YS? Dugaan ijazah palsu alm YS yang sempat heboh dan ‘didiamkan’ mungkin saatnya dibuka kembali untuk mendorong kesadaran akan fenomena ijazah palsu di kalangan para pejabat negara.

Satu hal positif soal etis tidaknya berbicara tentang orang mati. Saya, dan semoga para pembaca sekalian, ikut diajak berkontemplasi tentang dimensi budaya dari pembicaraan tentang orang mati khusus terkait utang dan dosa-dosa. Tak etiskah berbicara tentang orang mati? ***