Tantangan Berat seusai Pilkada

oleh -24 Dilihat

Ilustrasi

PILKADA 2020 sudah selesai digelar. Meski digelar di tengah pandemi covid-19, tingkat partisipasi pemilih, menurut Badan Pengawas Pemilu, di atas 80 persen. Tingkat partisipasi yang tinggi berkorelasi dengan harapan perubahan kinerja pemerintah daerah yang lebih baik.

Antusiasme pemilih itu juga memperlihatkan kuatnya keinginan rakyat untuk mendapatkan pemimpin baru. Berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, tidak sedikit petahana yang tumbang. Ada 290 calon petahana di antara 654 pasangan calon yang bertarung dalam Pilkada 9 Desember lalu.

Hasil resmi pilkada baru diketahui setelah KPU menetapkan hasil penghitungan suara. Penetapan hasil penghitungan suara untuk pemilihan bupati/wali kota dijadwalkan pada 13-17 Desember. Pemilihan gubernur ditetapkan pada 16-20 Desember. Selama menunggu penetapan, para calon jangan menggelar pesta kemenangan yang menyebabkan kerumunan massa.

Pilkada langsung yang dimulai sejak 2005 sampai dengan 2020 berlangsung lebih dari 1.600 kali. Apakah praktik demokrasi lokal sebanyak itu mampu menyejahterakan rakyat? Jujur dikatakan bahwa demokrasi lokal baru pada tahap prosedural, belum memasuki substansi.

Pemimpin yang dihasilkan melalui pilkada belum sepenuhnya bekerja untuk rakyat sesuai janji politik mereka. Tidak sedikit pula kepala daerah yang dihasilkan melalui pilkada malah berujung di penjara karena korupsi. Mereka itu telah mengkhianati pilihan rakyat karena menyejahterakan diri sendiri. Pemenang pilkada kali ini bakal menghadapi tantangan baru, yaitu melanjutkan pekerjaan besar mengatasi penyebaran virus korona.

Karena itu, setelah dilantik nanti, pemenang jangan berlama-lama menyesuaikan diri, tetapi langsung bekerja. Langsung bekerja karena wabah korona telah memorak-porandakan segala sendi kehidupan di daerah, terutama ekonomi dan kesehatan. Pembangunan tidak akan berjalan jika perekonomian dan rakyatnya sakit-sakitan.

Seorang kepala daerah harus bisa memetakan problematika di wilayahnya dengan permasalahan yang terjadi saat ini, mengintegrasikan persoalan ekonomi dengan kondisi kesehatan masyarakat di tengah pendemi. Upaya memutus rantai penularan virus menjadi krusial untuk diagendakan para pemimpin daerah terpilih.

Covid-19 harus jadi ‘musuh’ bersama. Apalagi, virus ini tak pandang strata, ideologi, apalagi afiliasi politik. Tidak cuma jelata, para pejabat pun sudah banyak yang terjangkit virus ini, termasuk kepala daerah.

Jangan pernah kasih kendur pada upaya pemberantasan korona. Kondisi daerah tentu saja berbeda-beda. Ada kepala daerah yang tinggal melanjutkan program kerja pendahulunya karena memang sudah baik adanya. Ada pula yang mesti mencuci piring kotor yang ditinggalkan pemimpin terdahulu.

Para kepala daerah jangan latah mengikuti kebiasaan buruk selama ini, yaitu ganti kepala daerah ganti kebijakan hanya sebagai pembeda. Harus dipastikan keberlanjutan pembangunan dari pemimpin sebelumnya.

Kursi kekuasaan bukanlah tujuan utama dalam politik bernegara. Pembangunan yang hasilnya dapat dinikmati rakyat mestilah menjadi misi utama seorang pemimpin. Tidak boleh lagi ada rivalitas, apalagi sampai mendelegitimasi pemimpin sebelumnya.

Semua harus bergandengan tangan memajukan daerah. Program yang sebelumnya telah berjalan baik, misalnya, tidak ada salahnya diteruskan. Ambil yang baik, buang yang buruk, begitu istilahnya. Rakyat sangat merindukan keteladanan dan sikap sportivitas dari mereka yang bertarung dalam pilkada.

Alangkah eloknya jika yang kalah mengucapkan selamat kepada pemenang. Sebaliknya, pemenang merangkul yang kalah untuk bersama-sama membangun daerah. (e-mi/jdz)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *