KASUS virus korona jenis baru meluas sangat cepat. Kurang dari dua bulan sejak pertama kali muncul pada 8 Desember 2019 di Wuhan, Tiongkok, sudah puluhan negara di dunia positif terjangkit oleh virus korona.
Penyebaran virus korona yang meluas sangat cepat itu membuat warga dunia cemas, tapi jangan sampai panik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan kasus virus korona jenis baru itu merupakan kondisi darurat kesehatan bagi Tiongkok, tetapi belum merupakan darurat kesehatan global.
Meski belum merupakan darurat kesehatan global, Indonesia patut bersiaga. Dunia satu, perkembangan teknologi kedirgantaraan memungkinkan mobilitas manusia lintas negara begitu tinggi setiap harinya. Bersamaan dengan mobilitas manusia itu, terjadi pula mobilitas penyakit menular lintas negara, lintas benua. Apalagi, sejumlah negara tetangga sudah positif terjangkit oleh virus mematikan itu.
Sekarang ini setiap hari ada kurang lebih 30 penerbangan dari Tiongkok, baik penerbangan langsung maupun transit, menuju Indonesia. Jumlah penumpang antara 4.500 dan 6.000 setiap hari harus diperhitungkan dalam penanganan virus korona.
Pemerintah Indonesia sudah memperketat pengawasan di pintu masuk negara dengan menyiagakan alat deteksi berupa thermal scanner untuk mencegah novel coronavirus (2019-nCoV) masuk ke Indonesia. Melalui alat tersebut, nantinya para penumpang bisa dideteksi sejak dini apakah ada potensi gejala terjangkit oleh virus tertentu.
Hingga kini, sebanyak 135 thermal scanner telah diaktifkan di 135 pintu masuk negara baik darat, laut, maupun udara. Pemerintah juga menyiapkan 100 rumah sakit rujukan.
Kesiapan pemerintah itu tidak boleh lepas dari amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Maksud dan tujuan undang-undang itu ialah melindungi penduduk dari malapetaka yang ditimbulkan wabah sedini mungkin dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat.
Upaya penanggulangan wabah, menurut undang-undang tersebut, mempunyai dua tujuan pokok. Pertama, berusaha memperkecil angka kematian akibat wabah dengan pengobatan. Kedua, membatasi penularan dan penyebaran penyakit agar penderita tidak bertambah banyak dan wabah tidak meluas.
Publik tidak perlu meragukan kemampuan Kementerian Kesehatan selaku leading sector bidang kesehatan dalam mengantisipasi menyebarnya virus baru tersebut di Indonesia. Akan tetapi, jujur dikatakan bahwa pemantik kepanikan biasanya akibat peredaran informasi yang tidak bertanggung jawab.
Terus terang, informasi simpang siur soal virus korona sudah menyebar luas di media sosial. Misalnya, pada 23 Januari, beredar informasi seorang karyawan tertular oleh virus korona seusai datang dari Tiongkok. Setelah mendengar kabar itu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bergegas meninjau lokasi.
Dalam keterangannya, Menkes mengatakan karyawan yang diduga terinfeksi oleh virus korona telah dibawa ke rumah sakit. Namun, setelah diperiksa lebih lanjut dipastikan bahwa hasilnya negatif. Yang bersangkutan hanya mengalami flu biasa.
Semua pihak perlu diimbau agar berhati-hati dalam memberikan informasi. Setiap informasi yang diedarkan dipastikan dulu kebenarannya sehingga bisa dipertanggungjawabkan dengan baik. Jangan sampai apa yang disebarluaskan hanya berdasarkan asumsi belaka tanpa disertai bukti yang jelas sehingga menyebabkan kegaduhan di masyarakat.
Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika, sepanjang Agustus 2018 sampai Februari 2019, hoaks terkait dengan kesehatan menempati posisi kedua setelah hoaks politik. Sebelum itu, Februari 2016 hingga Februari 2017, hoaks kesehatan menempati posisi pertama.
Hoaks kesehatan ialah salah satu bentuk teror kesehatan yang paling mengerikan. Pemahaman yang keliru dapat menjadi landasan pengambilan keputusan yang salah bagi masyarakat.
Virus korona jangan sampai menjadi teror kesehatan yang menakutkan akibat hoaks. Otoritas kesehatan di pusat dan daerah perlu secara berkala menyampaikan informasi secara terbuka kepada masyarakat terkait dengan virus korona. (e-mi)