TPDI Kritik Humas Polda NTT Karena Melanggar Etika Komunikasi

oleh -15 Dilihat

JAKARTA – Sikap diam Humas Polda NTT terhadap kasus penetapan tersangka Frans Oan Semewa yang dinilai melanggar hukum, memantik kritik keras dari Koordinator Tim Pembela demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus. Ia menilai hal itu melanggar hukum dan etika dalam komunikasi.

Sikap Humas Polda NTT yang bungkam terhadap media,Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menilai hal tersebut melanggar hukum dan etika dalam komunikasi.Hal ini disampaikan Petrus Selestinus Koordinator TPDI.

“Itu sebuah kesalahan fatal yang dilakukan oleh Polda NTT,” kritik Advokat Senior itu melalui wahtsapp yang diterima media ini, Senin (5/3/2018).

Menurut Petrus, Polri adalah lembaga publik maka harus selalu membuka diri terhadap koreksi dan kritik. Karena itu, sikap Kabid Humas Polda yang tidak mau menjawab pertanyaan media itu jelas melanggar hukum dan etika dalam komunikasi publik.

“Sikap menututp diri Polda NTT ini bertentangan dengan jati diri Polri sebagai institusi publik (milik rakyat) di era keterbukaan informasi publik,” tegas Petrus.

Sebelumnya diberitakan, Kepala Bidang (Kabid) Hubungan Masyarakatan (Humas) Polda NTT, Kombes Pol Jules A Abast bungkam terhadap kasus penyidik yang dinilai melanggar hukum atas penetapan tersangka Frans Oan Semewa (FOS).

Sejak diberitakan media ini, meskipun berkali kali Kabid Humas Polda NTT dihubungi melalui telpon seluler, Whatsapp dan pesan singkat, namun beliau tidak pernah merespon.

Hingga saat ini, Kabid Humas Polda NTT tidak memberikan tanggapan atau bungkam.

Untuk diketahui, Frans Oan Smewa (FOS) mengajukan keberatan atas penetapan sebagai tersangka oleh penyidik Polda NTT.

Melalui kuasa hukum, Erlan Yusran, SH,MH, ia menjelaskan, Penyidik Polda NTT telah mengangkangi pasal 78 dan 79 Kuhap tentang gugurnya hak menuntut secara pidana dan perhitungan waktu kadaluwarsa terhadap laporan Christian Natanael

Untuk itu, kata Erlan, FOS mengajukan perkara pra peradilan di Pengadilan Negeri (PN) Kupang. “Saya sudah daftar di PN Kupang pada hari Jumat, 23 Februari 2018 dan diterima oleh staff PN bagian piket lalu,diteruskan ke bagian pidana,” jelas Erlan melalui pesan whatsapp, Kamis (1/3/2018).

Berdasarkan data yang dihimpun media ini, suarat laporan perkara pra peradilan di PN Kupang itu bernomor 03/Pid.Pra/2018/PN.KPG. Sedangkan jadwal sidang pertama Senin, 12 Maret 2018.

Diinformasikan bahwa penetapan tersangka terhadap Frans Oan Semewa oleh Polda NTT dinilai melanggar hukum. Hal ini disampaikan Kuasa Hukum Frans Oan Semewa Erlan Yusran. Ia menyatakan keberatan atas penetapan dirinya sebagai tersangka.

“Jual beli tanah yang dimaksud benar-benar terjadi antara Christian Natanael dan saya pada tahun 1998,” cerita Erlan Yusran meniru ucapan Frans Oan Semewa.

Melalui pesan whatsapp yang diterima media ini Minggu 25/2/2018 Erlan menuturkan, bahwa tindakan Penyidik Polda NTT yang menindaklanjuti laporan Christian Natanael dinilai melanggar hukum karena mengangkangi ketentuan Pasal 78 KUHP.

Dalam Pasal 78 KUHAP itu, jelas dia, mengatur tentang gugurnya hak menuntut secara pidana karena kedaluwarsa, sedangkan pada Pasal 79 KUHP yang mengatur tentang perhitungan waktu kadaluwarsa.

“Pasal 79 ayat (1) KUHP mengatur secara khusus penghitungan kadaluwarsa tindak pidana pemalsuan yaitu sehari sesudah barang yang diduga dipalsukan digunakan sampai 12 tahun kemudian,” jelas Erlan.

Ia juga menjelaskan, dalam kasus ini Frans Oan Semewa menggunakan Akta Jual Beli (AJB) tanah yang diduga palsu sejak 9 Juni 1999 (saat balik nama)

“Dengan demikian, masa kadaluwarsa itu terhitung sampai 9 Juni 2010. Lewat dari 9 Juni 2010, hak untuk menuntut secara pidana, dengan sendirinya gugur,” tegasnya.

Erlan menambahkan, langkah hukum yang dilakukan Frans Semewa saat ini adalah mengajukan permohonan Pra Peradilan di Pengadilan Negeri Kupang.

Data yang diperoleh media ini bahwa pada tahun 1998, Christian Natanael alias Chris alias Werli menjual sebidang tanah kepada Frans Oan Semewa (FOS), yang terletak di Pulau Seraya Kecil, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Manggarai (sekarang menjadi Kabupaten Manggarai Barat). Tanah tersebut  ber-Sertifikat Hak Milik (SHM)  No 875.

Atas jual beli tanah dimaksud dibuatlah Akta Jual Beli (AJB) Nomor : 53/JB/KK/IV/1998 tgl 22 April 1998, yang dibuat oleh Camat Komodo (Drs. Yos Vins Ndahur,  alm) sebagai PPAT.

Pada tangal 9 Juni 1998, SHM No 875 dibalik nama dari pemegang hak lama, Christian Natanael kepada pemegang hak baru Frans Oan Semewa (FOS).

Sejak itu, Frans Oan Semewa membangun Hotel Gardena II di objek jual beli tanah tersebut. Tahun 1999, ketika pembangunan Hotel Gardena II sedang berjalan, Christian Natanael kembali menjual 2 bidang tanah miliknya (SHM No. 876 dan SHM No. 878) kepada  Frans Oan Semewa. Dua bidang tanah tersebut  berbatasan langsung degan tanah SHM No. 875.

Pada tanggal 6 Desember 2017, Christian Natanael melaporkan  Frans Oan Semewa ke Polda NTT, dalam dugaan tindak pidana pemalsuan surat Akta Jual Beli No 53/JB/KK/IV/1998 tgl 22 April 1998 atas tanah degan SHM No. 875 (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 264 ayat (1) dan ayat (2) KUHP dan Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1-e KUHP).

Penyidik Polda NTT menanggapi laporan tersebut dan selanjutnya menetapkan  Frans Oan Semewa sebagai  tersangka sesuai Surat Panggilan No. SP-Gil/124/II/2018/Ditreskrimum 19 Februari 2018. (*/jk)