JAKARTA – PDI Perjuangan selama ini identik dengan keluarga Bung Karno. Namun, jelang kongres ke IV partai berlambang banteng moncong putih yang akan dilaksanakan di Bali, 8-12 April, persepsi itu mulai berubah.
Hal itu terlihat dari hasil survei pakar dan opinion leader yang dilakukan Poltracking Indonesia mengenai tokoh potensial bakal calon pemimpin PDIP. Meski Megawati Soekarnoputri hampir pasti menjabat lagi sebagai ketua umum, tapi publik menginginkan lain.
Ada sepuluh aspek yang dinilai dalam survei tersebut. Yakni, integritas dan rekam jejak, kompetensi dan kapabilitas, visi dan gagasan, komunikasi elite, komunikasi publik, akseptabilitas publik, pengalaman dan prestasi memimpin, kemampuan memimpin organisasi partai, kemampuan memimpin koalisi, serta kemampuan memimpin dalam pemerintahan dan negara.
Nah, dari aspek-aspek tersebut, ada temuan menarik dari hasil survei tersebut. Dari sembilan tokoh yang muncul, tiga calon yang berasal dari trah Soekarno justru berada pada urutan tiga terbawah. Yaitu, Megawati dengan total nilai 6.44 yang berada di urutan tujuh. Disusul dua anaknya, Prananda Prabowo (5.93) dan Puan Maharani (5.74), di posisi delapan dan sembilan.
Posisi teratas ditempati Joko Widodo (7.68) diikuti Ganjar Pranowo (7.41) dan Pramono Anung (7.35). di urutan berikutnya ada nama Maruarar Sirait (7.03), Tjahjo Kumolo (6.60), dan Hasto Kristiyanto (6.52). Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa dinasti yang dibangun Mega di tubuh PDIP tak serta merta diapresiasi publik.
Direktur Eksekutif Pol-Tracking Hanta Yuda mengatakan, dari survei tersebut, trah Soekarno tampaknya tak diinginkan lagi oleh publik untuk memimpin partai. Sebab, proses regenerasi harusnya tidak terbentuk atas dinasti. Untuk saat ini, PDIP dinilai lebih tepat dipimpin tokoh di luar trah Soekarno. “Pakar merekomendasikan pemimpin di luar trah Soekarno,” katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (22/3).
Pakar psikologi politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk mengatakan, wajar jika Jokowi unggul dalam semua aspek bakal calon pemimpin PDIP. Bahkan, namanya menggusur Mega yang justru tidak direkomendasikan. Menurut Hamdi, publik merindukan sosok di luar partai politik. “Dinasti itu mulai tidak disukai masyarakat,” ujarnya.
Ketokohan Jokowi semakin menguat sejak terpilih menjadi presiden. Sementara, Pramono Anung merupakan politisi senior yang juga pernah menjabat sebagai sekjen PDIP. Lalu, Ganjar Pranowo dilihat berprestasi setelah menjadi gubernur Jawa Tengah. Prestasi-prestasi itu yang memengaruhi publik memilih tokoh-tokoh tersebut.
Selain itu, lanjut Hamdi, ketidaksukaan publik pada dinasti partai politik disebabkan sosok yang menggantikan figur itu dinilai tidak pernah pas. Kompetisi dan prestasi mereka tidak terlalu memadai. Namun, posisi itu diperoleh karena ada embel-embel nama keluarga. “Publik menilai dinasti lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya,” terangnya.
Di samping itu,isu regenerasi kepemimpinan dan demokratisasi partai menjadi penting di PDIP. Selama ini, kursi pucuk pimpinan PDIP tidak pernah berubah, yakni diisi Megawati. Hal itu menunjukkan tidak adanya regenerasi di parpol tersebut. Sebaliknya, yang terjadi degenerasi. Nah, publik sebenarnya menginginkan adanya regenerasi itu. “Ya tapi nggak akan didengar juga kayaknya, ya yang terpilih itu-itu lagi,” ucapnya.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, ketidaksukaan publik terhadap dinasti politik di PDIP bukan karena faktor keluarga Soekarno. Namun, hal itu terkait sisi-sisi negatif dinasti politik, seperti yang terjadi di Banten dan Bangkalan. “Dalam kasus dinasti Soekarno belum terjadi kasus yang sangat negatif dibanding kasus-kasus itu,” jelasnya.
Terkait regenerasi, menurut dia, sulit terjadi di PDIP. Sebab, pemilihan di PDIP masih menggunakan aklamasi. “(Yang harus dilakukan adalah) bagaimana kita mendorong PDIP jadi partai modern,” cetusnya.
Menurutnya, figur Mega memang masih diperlukan. Sebab, hanya Mega yang mampu menjadi pemersatu di internal partai. Hingga saat ini, belum ditemukan sosok yang mampu menyainginya. (jp/jdz)