Ilustrasi
BIAYA mahal tes polymerase chain reaction (PCR) kembali disorot masyarakat. Disorot karena harganya mencapai sepuluh kali lipat dari India. Padahal, PCR berperan mendeteksi virus korona.
Pemerintah memang sudah menetapkan tarif batas tertinggi untuk swab PCR mandiri sebesar Rp900 ribu. Keputusan itu diambil setelah suka-suka penyedia jasa menetapkan tarif selangit.
Penetapan tarif batas atas tes PCR oleh pemerintah tentu saja berdasarkan kajian mendalam dan komprehensif. Akan tetapi, ketika diketahui terpaut jauhnya harga tes PCR di India dengan Indonesia, sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang.
Saat ini harga tes PCR di India semakin murah, di bawah Rp100 ribu. Wajar, sangat wajar, jika kini ramai-ramai masyarakat menyuarakan penurunan harga tes PCR di Indonesia. Kalau India bisa, kenapa Indonesia tidak bisa menurukan biaya tes PCR? Harga tes PCR yang murah meriah itu patut didukung.
Kemenkes boleh-boleh saja berdalih penetapan harga tertinggi PCR ini telah dikonsultasikan dengan berbagai pihak, termasuk auditor. Meski demikian, Kemenkes juga mengaku terbuka menerima masukan, kritik, dan saran terkait hal ini.
Tes PCR sangat dibutuhkan dalam kegiatan 3T, yaitu pemeriksaan (testing), pelacakan (tracing), dan perawatan (treatment). Kegiatan 3T yang menjadi tugas pemerintah itu mesti dibarengi dengan 3M (menjaga jarak, mencuci tangan, dan memakai masker) di tingkat masyarakat.
Apalagi, kini penggunaan tes PCR diperluas sebagai syarat kegiatan di ruang publik dan perjalanan. Ketika terjadi lonjakan angka positif covid-19, kegiatan 3T mesti digencarkan. Akan tetapi, harga tes PCR yang masih selangit itu menjadi salah satu sebab 3T tidak bisa dijalankan sebagaimana yang diharapkan.
Lonjakan kasus covid-19 terjadi di luar Jawa-Bali yang masyarakatnya tidak punya kemampuan membiayai tes PCR. Karena itulah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyumbangkan 1,6 juta alat rapid test antigen untuk mempercepat deteksi kasus covid-19. Secara khusus WHO menyoroti tujuh provinsi di Indonesia dengan laju penularan tinggi covid-19 dalam satu pekan, 2 sampai 8 Agustus 2021.
Laju penularan itu dihitung per 100 ribu penduduk. Laporan WHO yang dirilis kemarin menyebut laju penularan tertinggi di Kalimantan Utara, DI Yogyakarta, Kalimantan Timur, Kepulauan Bangka Belitung, DKI Jakarta, Bali, dan Kepulauan Riau.
WHO juga menyoroti lima provinsi di luar Jawa-Bali yang terus mengalami peningkatan jumlah kasus di atas 25%, yaitu Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Aceh, Gorontalo, dan Kepulauan Bangka Belitung. Sorotan WHO itu hendaknya menjadi peringatan bagi kepala daerah untuk lebih giat lagi mengatasi penularan covid-19. Mereka tidak boleh kendur dalam menerapkan protokol pengendalian covid-19, termasuk melaksanakan tes dan tracing.
Selain itu, mereka harus pula menyiapkan berbagai fasilitas kesehatan guna menanggulangi lonjakan pasien, sekaligus untuk menekan angka kematian.
Terpapar covid-19 bukanlah aib sehingga data aktif termasuk kematian jangan disembunyikan. Kepala daerah tidak perlu malu jika wilayahnya masuk dalam zona merah sekalipun.
Data penting untuk melacak dan melokalisasi penularan. Itu sebabnya WHO menyerukan pentingnya tes dan tracing karena data itulah yang jadi komponen penting guna memutus rantai penyebaran virus. Tes bisa diperbanyak jika biaya tes PCR segera diturunkan. (e-mi/che)