Oleh : Charles Beraf, SVD
Pastor Paroki Roh Kudus Detukeli.
MENGAPA Budi? Mengapa bukan Charles yang uskup? Mengapa bukan Yohan? Mengapa bukan Sius? Mengapa bukan Jonli? Bagaimana dan mengapa Budi bisa menjadi uskup? Pertanyaan – pertanyaan ini tampaknya ‘basi’, sumbang dan kurang relevan di tengah riuh penyambutan Mgr. Budi sebagai uskup Keuskupan Agung Ende. Keriuhan pada 10 Agustus 2024 dari Bandar Udara Haji Aroeboesman hingga ke rumah besar (istana uskup) di Ndona seolah mengabaikan ‘lelahnya’ sang gembala dari Roma ke Ende. Bahkan sebaliknya, lambaian tangan dan berkat Uskup Budi dari mobil sunroof seakan mengobati segalanya: kerinduan plus kelelahan, dan karena itu, sudah tak pantas lagi untuk bertanya: mengapa Budi, dan bukan Charles?
Namun setiap pertanyaan, sesederhana apapun, selalu berjejak. Sebagai jejak, pertanyaan itu selalu berciri ‘menunjuk’ atau lebih tepat selalu berciri ‘mengabarkan’ sesuatu, yang mungkin tak banyak orang tahu atau peduli. Bukankah, seperti kata filosof Aristoteles, bertanya dan terus bertanya adalah suatu sikap filosofis paling mendasar untuk bisa menemukan yang sebenarnya? Bukankah, seperti pada tikus mondok, hal mengendus jejak demi jejak adalah cara terbaik untuk menemukan yang terbaik, yang pokok, bukan yang remeh temeh?
Itulah sebabnya ‘mengapa Budi’ tetap menjadi pertanyaan penting untuk dijawab.
Di kalangan keluarga bermarga Kleden – Waibalun, Uskup Budi adalah uskup kedua setelah mendiang Mgr. Paulus Sani Kleden (Uskup Denpasar) – kakak kandung dari ayah Uskup Budi (Petrus Sina Kleden), yang sekandung juga dengan Wilhelmus Lawe Kleden (ayah dari mantan frater SVD Tony Kleden) dan Lepan Kleden. Jadi boleh dikata dari serumah lahir dua (2) uskup: Mgr. Paulus Sani Kleden dan Mgr. Paulus Budi Kleden. Duo Paulus (duo Kleden) dari satu rumah, terpilih menjadi uskup.
Bagaimana, mirip pertanyaan Maria kepada Malaekat Tuhan, hal itu mungkin terjadi? Mengapa dari serumah ada lagi Mgr. Paulus Budi Kleden, padahal sudah ada lebih dahulu Mgr. Paulus Sani Kleden (Bapa besar kandung dari Uskup Budi)? Apakah sedang ada dinasti a la gereja Katolik dari keluarga Kleden – serupa dinasti politik yang diributkan di saat akhir pemerintahan Jokowi? Apakah Vatikan diam-diam ‘main mata’ dengan marga Kleden dalam perkara pemilihan uskup?
Keterpilihan Budi sebagai Uskup Agung Ende tak bersangkut dengan urusan ‘main mata’ atau dinasti. Hemat saya, perkara paling utama adalah perkara ‘rumah’, ecclesia domestica yang sekaligus menjadi ecclesia schola dalam keluarga Kleden. Baik mendiang Mgr. Paulus Sani Kleden maupun Mgr. Paulus Budi Kleden adalah buah tempahan dari keluarga Bapa Suban Kleden dan Mama Kemohun Kean (orang tua dari Bapa Petrus Sina Kleden). Suban dan Kemohun telah meletakkan dasar yang kuat bagi anak-anak dan cucu-cucu mereka agar mereka cerdas dan terutama kuat dalam beriman – hal yang belakangan digencarkan oleh gereja agar keluarga – keluarga Katolik sungguh menjadikan keluarga sekaligus sebagai ecclesia domestica dan ecclesia schola.
Hal itu telah hidup dan bertumbuh hingga sekarang dalam keluarga Uskup Budi. Bahkan menyongsong tahbisan Uskup Budi, atas inisiatif keluarga sendiri, sepupu dan saudara kandung Uskup Budi akan nyekar (berkunjung) ke makam Mgr. Paulus Sani Kleden di Palasari, Denpasar dan setelah itu, selama tiga hari, sebelum beranjak ke Ende menyaksikan tahbisan saudara mereka Budi, mereka akan mengadakan ibadat Triduum di rumah keluarga Budi (bukan di gereja Waibalun)– hal yang sangat jarang dilakukan oleh keluarga – keluarga pada umumnya.
Dalam keluarga Uskup Budi, iman (fides), kecerdasan (ratio), modestia (kerendahan hati, dan kebijaksanaan (sapientia) dibentuk, tidak dimaksudkan agar memperpanjang barisan uskup dari keluarga mereka, tetapi agar anak-anak mereka menjadi orang-orang terbaik dengan integritas religious yang kuat yang dibutuhkan oleh gereja dan masyarakat. Proses dan jejak formasi itu telah hidup dalam diri Uskup Budi.
Kalau demikian jejaknya, maka boleh dikata, yang paling pertama dan terutama mempersembahkan Budi kepada Ibu Gereja Keuskupan Agung Ende untuk menjadi uskup adalah “RUMAH” Kleden, keluarga yang sudah sejak lama menjadi ecclesia domestica, ecclesia schola bagi Uskup Budi. Keluarga Kleden telah menjadi ‘RUMAH USKUP’ (Mgr. Paulus Sani Kleden dan Mgr. Paulus Budi Kleden).
Seminari San Dominggo Hokeng? Itu rumah yang ke sekian…SVD? Itu rumah yang ke sekian! Rumah sebagai ecclesia domestica, ecclesia schola yang pertama bagi Uskup Budi adalah rumah Suban dan Kemohun.
Terima kasih untuk keluarga Kleden, Bapa Suban dan Mama Kemohun atas jejak yang amat berarti bagi Ibu Gereja. Jejak hidup keluarga menginspirasi kami para imam tentang pentingnya pastoral keluarga, memberi ilham bagi keluarga-keluarga Katolik tentang betapa pentingnya pendidikan dalam keluarga, apalagi di tengah carut-marut hidup perkawinan jaman now. (***)