Wakil Ketua I DPRD sedang menerima pengaduan dari warga Bakitolas.
KEFAMENANU, mediantt.com – Diduga menyelewengkan dana desa, warga Desa Bakitolas, Kecamatan Naibenu, bersama Badan Perwakilan Desa (BPD) mengadukan kepala desa (kades) ke DPRD TTU. Mereka diterima oleh Wakil Ketua I, Agustinus Tulasi, SH, di ruang rapat pimpinan, Rabu (2/6).
Informasi yang diterima mediantt.com, masyarakat bersama BPD Desa Bakitolas membawa surat pengaduan tertulis, dilengkapi dengan beberapa bukti otentik untuk memperkuat laporan pengaduan tersebut.
“Kepala desa kami selama menjabat tidak pernah transparan soal pembangunan di desa. Tidak pernah ada LKPJ bersama BPD. Pelaksanaan dana desa tidak sesuai harapan kami. Tidak nampak fisik pembangunan. Walaupun ada juga terlihat mubasir dan amburadul; apalagi dia berperan sebagai suplayer dan pelaksana teknis. Kami masyarakat sangat sesalkan tindakan subyektif kepala desa,” ungkap perwakilan masyarakat yang tidak ingin namanya ditulis.
Menanggapi pengaduan itui, Wakil Ketua I DPRD TTU dari Fraksi Golkar, Agustinus Tulasi, SH, ketika dikonfirmasi menegaskan, fenomena korupsi Dana Desa yang sedang terjadi di desa-desa dilakukan para kades yang sedang aktif maupun yang sudah mantan.
“Daerah ini (TTU) sedang mengalami stagnasi birokrasi di tingkat desa. Ini bahaya laten yang lebih kejam dari covid-19. Bagaimana desa bisa sejahtera bila tabiat pemimpin desanya hanya berorientasi duit demi memenuhi syahwat homo homini lupus menjadi serigala bagi masyarakatnya. Saya dukung Kejaksaan Negeri Kefamenanu yang terus fokus memeriksa para kepala desa yang dilaporkan oleh masyarakat maupun rekomendasi LHP oleh inspektorat,” tandas Agus, dan meminta agar kades yang tersangkut masalah hukum sesuai LHP Inspektorat, tidak boleh ikut calon kades.
Ia juga berharap, kejaksaan dan inspektorat harus bekerja sama dalam pemberantasan korupsi di TTU. Sebab, TTU masih tertinggal jauh dari aspek pembangunan sehingga dana desanya jangan dicuri. “Tujuan dana desa untuk kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan pejabat desa. Quo vadis TTU apabila praktek korupsi uang rakyat oleh para kades dan para mantan kades terus terjadi? Segera adanya effect jerah melalui jalur pidana dengan hukuman pidana yang setimpal. Hukuman maksimal penjara dan sita harta benda yang dimiliki dari hasil korupsi adalah solusi tepat untuk membuat efek jerah bagi tikus-tikus pencuri uang rakyat di desa,” tegas mantan pengacara ini.
Dia juga mengapresiasi keberanian masyarakat untuk melapor. Artinya, sudah ada tanda pemahaman hukum masyarakat di tingkat lokal. “Ini suatu bentuk kemajuan. Namun perlu juga ada keberanian dari para pelaku untuk membongkar setiap kasus jika diketahui atau sama-sama melakukannya. Ini yang dinamakan (justice colaborator). Memang di Indonesia baru diatur melalui Surat Edaran Mahkamah Agung beda dengan negara lain yang sudah menjadi Undang-undang. Jadi saya harapkan adanya justice colaborator dalam mengungkap korupsi di TTU,” saran Agus. (jdz)