SENTILAN Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada 471 kepala daerah beserta wakilnya di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (8/4), sudah semestinya menjadi bekal penting bagi para pemimpin publik untuk menyegarkan kembali pentingnya mengasah kepekaan. Baik Jokowi maupun Kalla mengkritik kebiasaan buruk kepala daerah dalam mengelola anggaran. Kepala daerah umumnya lebih mengutamakan pembiayaan operasional dengan segala kenyamanan dan kemewahan ketimbang merealisasikan sebanyak-banyaknya pembangunan. Kepala daerah baru, mobil dinas pun baru, bahkan dengan spesifikasi mewah.
Mereka tidak mau disamakan dengan ‘rakyat biasa’. Jika perlu, rumah dinas pun mesti dibuatkan berbeda dari kepala daerah sebelumnya. Tempat tinggal itulah yang nantinya setelah selesai menjabat bisa menjadi rumah pribadi. Mebel ruang kerja pun semua diganti baru, menyesuaikan selera. Bila seleranya ala Leonardo da Vinci, mebel pun didatangkan dari Italia. Toh, anggarannya memungkinkan. Dana APBD cukup melimpah, begitu kira-kira cara berpikir sebagian di antara mereka. Gaya menjabat para kepala daerah seperti itu tentu saja akan mengundang rasa iri rekan-rekan mereka di DPRD. Anggaran lebih besar lagi mesti dialokasikan untuk menghilangkan rasa iri itu. Cukuplah mobil dinas mewah, syukur-syukur ditambah kaveling tanah sebagai ‘penyeimbang’.
Perjalanan dinas juga dirancang sebanyak yang memungkinkan meskipun sebagian besar perjalanan itu tidak bermanfaat bagi pembangunan daerah. Yang penting, ada duit yang bisa dimainkan dengan menggelembungkan biaya. Segala daya upaya maksimal dikerahkan dalam mengalokasian anggaran yang bersifat rutin. Sebaliknya, daya yang disisihkan untuk program pembangunan hanya seadanya, yang penting ada. Begitu terus yang terjadi kendati kepala daerah silih berganti.
Jauh lebih mudah memang merencanakan anggaran rutin ketimbang merancang program yang mampu mengangkat kesejahteraan rakyat dan merealisasikannya. Pantas saja, ratusan triliun dana pemerintah daerah terparkir di bank. Belum lagi pola kebut anggaran di triwulan terakhir setiap tahun. Prinsipnya, asal anggaran terserap, tidak usah dipikirkan kualitas manfaatnya bagi rakyat. Maka wajar bila selama beberapa dekade, negeri ini belum kunjung mampu melepaskan puluhan juta rakyat dari jerat kemiskinan. Angka-angka pertumbuhan ekonomi hanya bisa dirasakan manisnya oleh kelompok masyarakat berpunya.
Para pejabat pura-pura lupa, bahkan tidak peduli, bahwa uang yang bersumber dari APBD dan APBN merupakan milik rakyat. Mereka orang-orang yang diberi amanah menyelenggarakan negara dan menggunakan anggaran untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan malah untuk semewah-mewahnya kehidupan pribadi.
Pada titik itulah, kritik Presiden dan Wapres atas pola kerja dan cara hidup kepala daerah amat relevan untuk terus digemakan. Apa yang disampaikan Jokowi-JK merupakan upaya keras memperbanyak dan menyebarkan pusat-pusat teladan agar manfaatnya segera dirasakan masyarakat. Tidak ada jalan lain bagi kepala daerah untuk melaksanakan ajakan itu. Jika tidak mau, hanya soal waktu bagi mereka untuk terjaring KPK tersebab terlena kemewahan. (moil/jd)
Foto : Presiden Joko WIdodo dan Waprea Jusuf Kalla